Belakangan ini, dunia media terguncang oleh dokumenter kontroversial bertajuk Seaspiracy. Film dokumenter hasil karya sutradara Inggris Ali Tabrizi ini mengekspos dunia perikanan yang korup dan eksploitatif. Seaspiracy memperlihatkan aib bidang perikanan, mulai dari perbudakan di laut, kehancuran ekosistem, sampah plastik bekas perikanan, hingga konsep perikanan yang berkelanjutan (sustainable fishing). Ketenaran Seaspiracy pun mengantarkannya ke telinga Ibu Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, yang menanggapi dokumenter tersebut melalui video Youtube garapan beliau.
Salah satu kritik terbesar Seaspiracy ditujukan terhadap konsep sustainable fishing atau perikanan yang berkelanjutan. Film ini mengungkapkan bahwa sustainable fishing adalah hal yang mustahil untuk dicapai. Di sisi lain, solusi yang ditawarkan Seaspiracy adalah mengurangi konsumsi makanan laut secara drastis, bahkan menghentikannya sama sekali. Namun, apakah solusi yang ekstrem ini cukup untuk mengatasi kompleksitas masalah laut yang kita hadapi? Apa saja dampak ekonomi yang akan timbul apabila solusi tersebut diterapkan?
Penghentian Konsumsi Makanan Laut: Tamparan bagi Perekonomian
Bayangkan jika seandainya semua orang di dunia ini berhenti mengonsumsi makanan laut. Dalam kata lain, konsumen secara beramai-ramai meninggalkan pasar. Konsep ini disebut juga dengan crowding out. Dampak ekonomi dari solusi yang ditawarkan Seaspiracy bisa dijelajahi lebih lanjut melalui konsep crowding out dan dampaknya bagi unemployment/pengangguran.Â
Jika pasar makanan laut mengalami crowding out, konsumsi makanan laut akan terhenti, yang kemudian menyebabkan runtuhnya seluruh industri perikanan. Menurut sebuah artikel baru di jurnal Fish and Fisheries, terdapat sekitar 260 juta pekerjaan perikanan laut di seluruh dunia. Artinya, 260 juta ini pekerjaan akan hilang secara global karena jatuhnya industri perikanan. Meskipun Seaspiracy menuduh perikanan sebagai pemicu bencana lingkungan, hancurnya industri ini akan menjadi sebuah bencana yang berbeda.
Ada dua jenis pengangguran yang akan terjadi jika pasar makanan laut mengalami crowding out. Awalnya, akan terjadi demand-deficient unemployment yang disebabkan oleh kekurangan permintaan makanan laut, diikuti dengan structural unemployment (pengangguran struktural) karena hilangnya sektor perikanan. Nelayan dan pekerja dengan keahlian spesifik di bidang perikanan adalah orang-orang yang paling rentan terhadap pengangguran struktural ini. Keterampilan yang dibutuhkan dalam industri perikanan sangat spesifik kepada sektornya, dan sulit untuk digunakan di industri lain. Akibatnya, jika para pekerja sektor perikanan laut kehilangan penghidupannya, banyak dari mereka yang akan kesulitan untuk bergabung kembali ke angkatan kerja.
Apabila industri makanan laut lenyap seketika akibat crowding out dari sisi konsumen, permintaan agregat akan jatuh sehingga kurva AD bergeser ke kiri. Ini akan menyebabkan pergeseran ekuilibrium makro ke (Y2, P2) sehingga terjadi penurunan PDB riil. Fluktuasi ini sontak akan dirasakan oleh semua negara di dunia, terutama negara-negara yang banyak mengonsumsi makanan laut seperti Indonesia dan negara Asia lainnya. Dapat disimpulkan, penghentian konsumsi makanan laut akan mengguncang perekonomian dunia.
Menguak Konspirasi di Balik Seaspiracy
Selama dua bulan sejak rilisnya pada Maret 2021, Seaspiracy telah mampu membuka mata khalayak ramai terhadap masalah-masalah di dunia kelautan dan perikanan. Namun, di balik itu semua, Seaspiracy masih memiliki banyak kesalahan dan miskonsepsi data yang membuat validitasnya patut dipertanyakan. Dokumenter ini dituding melakukan cherry-picking terhadap data, menyamakan korelasi dengan kausalitas, serta mengedit wawancara agar sesuai narasi mereka.Â
Salah satu contohnya adalah kesalahan penggunaan antara istilah bycatch (tangkapan sampingan) dengan discards (tangkapan buangan). Seaspiracy mengklaim bahwa sebanyak 48% tangkapan dunia adalah discards yang dibuang kembali ke laut. Padahal, klaim tersebut sangatlah tidak akurat karena angka 48% tersebut adalah angka bycatch yang sebagian besarnya tetap terjual di pasar, sementara angka discards yang dibuang ke laut hanya 10% dari total tangkapan laut dunia. Alhasil, banyak kritikus menyimpulkan bahwa penggunaan data dalam Seaspiracy menyesatkan dan didramatisasi.