Tenteram. Duduk terdiam, menyeruput kopi, dan mengonsumsi informasi yang terpapar di televisi 32 inci kesayangan adalah rutinitas. Frekuensi menelan potongan realita sudah terlalu kerap, hingga lupa berterima kasih kepada orang yang berjuang demi memuaskan kebutuhan kita akan berita. Hak menerima dan menikmati bongkahan realita secara suka-suka merupakan sebuah privilese. Berita tidak selalu bebas untuk dipetik.
Fuad M Syafruddin alias Udin adalah bukti kebengisan konstituen yang tidak mau diusik urusan politisnya. Menjalankan tugas sebagai jurnalis yang idealis, beliau meliput pilkada bupati Bantul periode 1996-2001. Karya seni jurnalistiknya yang berusaha mengungkapkan kekurangan kompetensi ketiga calon serta menyentil rezim otoriter Orde Baru yang dipenuhi oleh praktek KKN dianggap terlalu "berani". Lalu benar saja, malam hari tahun 1996 Udin menghembuskan nafas terakhirnya di tangan pria misterius.
Hingga kini, kasus Udin, dan banyak pejuang jurnalistik lainnya, belum dituntaskan. Demi melindungi para jurnalis, negara telah menciptakan UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Bahkan, pada pasal 4 di UU yang sama tertera bahwa kebebasan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Â Analisis berdasarkan teori ekonomi politik dan perilaku menimbulkan sebuah pertanyaan; lantas, adakah keuntungan yang bisa diambil oleh publik secara kolektif dari lepasnya belenggu pada pers?
Transparansi Adalah KunciÂ
"Information is a public good". Ujaran Joseph Stiglitz  tersebut berarti bahwa seluruh rakyat berhak untuk mendapatkan informasi tanpa pengecualian dan penggunaan informasi oleh satu pihak tidak mengurangi keuntungan yang pihak lain dapatkan. Ucapan ini perlu dipegang erat ketika kita berupaya untuk menganalisis manfaat yang bisa dipanen dari kebebasan pers.Â
Suatu problematika masif dalam hubungan hierarki, layaknya antara rakyat dan pemerintah, adalah perbedaan arus informasi yang diterima oleh kedua belah pihak atau asymmetric information.Â
Secara natural, yang memerintah memiliki lebih banyak komoditas informasi dibanding yang diperintah. Peran pers sebagai lembaga yang mendistribusikan informasi dapat mengobati penyakit yang diidap tersebut.Â
Namun, demi menelaah keuntungan yang dapat diraup dari kebebasan pers maka perlu ditelaah terlebih dahulu situasi di mana pers memiliki ruang gerak terbatas.Â
Pemerintah sebagai pihak yang memiliki "privilese" berlebih perihal informasi akan bertindak berdasarkan privilese tersebut bahkan sejak langkah awal mereka dalam kancah politik -- pemilu.
Keterbukaan informasi merupakan aspek esensial dalam berjalannya pemerintahan. Terdapat dua instrumen yang dapat digunakan oleh rakyat untuk mengontrol laju pemerintahan, yaitu bersuara atau keluar (dari naungan negara) (Hirschman, 1970).Â