"Pandemi mungkin dapat berakhir secara lebih cepat dan meninggalkan lebih sedikit kerusakan kepada kemanusiaan daripada jika mereka bersikap tidak mau tahu."
Ketika pandemi COVID-19 mulai menampakkan diri di Indonesia, ahli dari berbagai institusi pendidikan pun bergegas meramal waktu di mana kurva jumlah kasus positif akan melandai hingga menyentuh angka nol.Â
Ada yang ultraoptimis, misalnya peneliti dari Ikatan Alumni Departemen Matematika Universitas Indonesia yang memperhitungkan bahwa skenario paling buruk adalah pandemi berakhir di awal September tahun ini.Â
Namun, ada pula yang relatif skeptis, seperti ahli epidemiologi Pandu Riono yang menyebutkan bahwa jumlah kasus baru akan menurun pada akhir 2021.
Kepala World Health Organization (WHO) sendiri mengharapkan dengan kemajuan teknologi yang sudah ada, COVID-19 ini dapat ditangani dalam kurang dari dua tahun. Itu merupakan waktu untuk menangani wabah Flu Spanyol satu abad yang lalu. Beragamnya perkiraan ini menunjukkan tingginya derajat ketidakpastian yang meliputi peristiwa global ini.
Dalam esai ini, penulis tidak akan berpura-pura menjadi epidemiolog dan memprediksi kapan penghujung pandemi akan terjadi.Â
Sebagai gantinya, penulis akan mencoba memberikan bagaimana caranya mempercepat kedatangan penghujung tersebut melalui tiga pelajaran yang seharusnya kita petik dalam konteks ekonomi kesehatan.
Peluru perak?
Jika kini ada satu hal yang sedang ditunggu-tunggu oleh tujuh miliar warga dunia, ialah vaksin untuk SARS-CoV-2. Kini sudah ada setidaknya 13 perusahaan yang memimpin di dalam perlombaan tersebut. Di antara daftar tersebut, terdapat para raksasa farmasi seperti Gilead Sciences dan Moderna.
Sejauh ini, di Amerika Serikat (AS) saja pemerintah sudah menjanjikan untuk menggelontorkan 18 miliar dolar AS untuk membiayai kontes tersebut.Â
Vaksin untuk virus corona ditargetkan untuk dapat tersedia pada awal tahun depan dan jika berhasil ia akan menyandang titel sebagai vaksin yang paling cepat ditemukan sepanjang sejarah peradaban manusia.