Di Indonesia, kepercayaan religi seseorang memegang peranan penting dalam menentukan perilaku dan pandangannya, termasuk dalam konteks politik (Pepinsky et al., 2018). Dan pandangan politik yang terpolarisasi ini, didukung dengan partisanship yang kuat, mampu memengaruhi hal-hal yang lebih luas daripada pemilihan umum semata.
Ekonomi dan polarisasi politik
Seperti baru saja kita ketahui, polarisasi ternyata memiliki pengaruh yang besar. Oleh sebab itu, tak mengherankan apabila ranah ekonomi juga merasakan implikasinya. Sebelum menyimpulkan apakah polarisasi secara keseluruhan itu baik atau buruk bagi perekonomian, kita akan menelusuri argumentasi-argumentasi pro-kontra dari polarisasi.
Mari kita mulai dengan argumentasi pro. Pertama, adanya dua atau lebih pihak dengan pandangan yang berbeda akan mendorong terciptanya diskursus. Masing-masing pihak akan menyajikan argumentasi untuk melindungi pandangannya dan berusaha mengkritik pandangan lawan.Â
Seperti yang disampaikan psikolog sosial Jonathan Haidt pada buku The Righteous Mind, sangatlah penting bagi suatu institusi yang ingin menemukan kebenaran untuk memiliki pandangan intelektual dan ideologis yang berbeda.
Oleh sebab itu, negara dengan paling tidak dua kutub politik berbeda akan mampu menghasilkan "kebenaran" dari hasil perdebatan antarkutub. Dengan begitu, secara teoretis, informasi atau berita bohong akan disingkapkan oleh diskursus substantif yang berlangsung.Â
Begitu pula dengan kebijakan ekonomi. Adanya kompetisi argumen dari kubu-kubu yang saling berlawanan akan menghasilkan kebijakan terbaik bagi perekonomian yang telah lolos uji kritik dari kelompok-kelompok masyarakat yang bertentangan.
Implikasi positif kedua bersifat lebih praktikal, yakni terciptanya peluang untuk meraup manfaat ekonomis dari perilaku partisan masyarakat. Individu dengan partisanship kuat terhadap partai atau figur politik tertentu akan terdorong untuk menempuh berbagai cara untuk mendukung jagoannya.Â
Cara paling sederhana adalah dengan menonton debat presidensial. Debat presidensial pertama Trump-Clinton pada 2016 lalu berhasil menarik 106 juta penonton. Tayangan-tayangan berbau politis, terutama di periode kampanye, merupakan ladang emas bagi perusahaan-perusahaan penyiaran dan jurnalistik yang mampu memanfaatkan peluang ini.
Kini kita akan beralih ke argumentasi yang membuktikan bahwa polarisasi politik merugikan perekonomian. Pertama, polarisasi yang sangat prevalen akan menghambat kinerja pemerintahan dalam menyusun kebijakan.Â
Pada argumen pro tadi kita memang sudah membahas tentang bagaimana perbedaan intelektualitas dan ideologi dapat menghasilkan kebijakan yang "benar".Â