Apa hal pertama yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata ‘ibu’? Jika Anda seperti mayoritas orang Indonesia, besar kemungkinan imaji yang terbentuk adalah sosok perempuan paruh baya yang terlihat sibuk dengan pekerjaan rumah sepanjang hari.Â
Sedangkan, ayah Anda sebagai pencari nafkah utama di keluarga sering kali berangkat sebelum Anda terjaga dan pulang setelah Anda terlelap.
Terdengar normal, bukan? Alasan kelaziman inilah—didukung ‘kajian-kajian ilmiah’—yang dipakai oleh DPR sebagai fondasi pembangunan RUU Ketahanan Keluarga.
Meski sudah mendapat sinyal negatif dari istana, tak ada salahnya kita meninjau ulang  kejanggalan pada RUU tersebut. Poin yang akan disoroti oleh tulisan ini adalah pasal 25 yang menjadi alat negara untuk mewajibkan suami istri untuk menjalankan tugas sesuai peran gender tradisional.Â
Selain mengintrusi ranah privat, poin ini juga dinilai tidak berpihak kepada keluarga non-konvensional (i.e., single mothers dan disabled fathers) dan perempuan secara umum.
Apa pengaruh pasal tersebut terhadap partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja dan ekonomi negara secara agregat? Â Terakhir, bagaimana ilmu ekonomi dapat membantu pasangan suami istri untuk mengalokasikan kerja, baik yang berbayar maupun tidak, secara optimal?
Argumen yang selalu dilontarkan untuk membenarkan aturan diskriminatif di atas sesungguhnya bermuara kepada salah satu konsep ilmu ekonomi paling tua, yaitu division of labor atau pembagian kerja.Â
Esensi dari ide ini adalah membagi proses produksi menjadi beberapa tahap  agar pekerja fokus pada tugas-tugas tertentu. Menurut Adam Smith yang mempopulerkannya, pembagian kerja memungkinkan terjadinya peningkatan efisiensi karena spesialisasi oleh para pekerja.Â
Pembagian kerja berdasarkan gender adalah pilihan yang rasional pada era pre-industrialisasi. Tepatnya, ketika terjadi pergeseran dalam metode budi daya di sektor agrikultur. Mulanya, pertanian dikelola dengan sistem pindah lahan (shifting cultivation) yang memanfaatkan alat-alat yang dipegang dengan tangan seperti cangkul.Â
Lalu, sistem itu ditinggalkan oleh para petani yang beralih menggunakan alat bajak berbasis mesin atau hewan ternak (plough cultivation) yang banyak membutuhkan kekuatan tubuh bagian atas. Dalam hal ini, pekerja laki-laki memiliki keunggulan relatif terhadap pekerja perempuan.