Bagaimana Industri Sepak Bola sebagai Kapitalis Saat Ini Bekerja?
Industri kapitalis pada umumnya didorong untuk memperluas jangkauan serta mengakumulasi dan mengelola modal yang diperoleh dari memproduksi suatu komoditas. Akan tetapi, bagaimanakah esensi tersebut sejalan dengan sepak bola, di mana komoditas akhir yang dihasilkan ini adalah sebuah pertandingan?
Seperti yang kita ketahui, industri kapitalisme didasarkan pada hubungan antara modal dan tenaga kerja, dan berupaya menghasilkan perluasan modal melalui nilai lebih yang dihasilkan dari produksi menggunakan tenaga kerja.Â
Sederhananya, modal awal digunakan untuk mempekerjakan tenaga kerja dan membeli komoditas lain yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk atau komoditas akhir yang memiliki nilai lebih di atas seluruh modal awal yang dikeluarkan. Pada akhirnya, nilai tersebut dikonversi menjadi penjualan komoditas akhir yang telah dihasilkan dan hasil penjualannya akan dibagi-bagikan untuk upah tenaga kerja, biaya bunga, biaya pemasaran, sewa tanah/bangunan, dan tentunya laba produksi.
Dalam kasus sepak bola, komoditas akhir yang dihasilkannya adalah sebuah pertandingan, yang dapat dikomersialisasi dengan penjualan tiket. Namun, nilainya secara ekonomi tentu akan lebih rendah dibandingkan nilai dari tenaga kerja (yaitu pemain) serta komoditas lainnya (seperti stadion, perlengkapan permainan, perangkat pertandingan, serta unsur-unsur pertandingan sepak bola lainnya) yang dipakai untuk penyelenggaraan suatu pertandingan sepak bola.Â
Akibatnya, tidak ada nilai lebih produksi dan oleh karena itu tidak akan ada keuntungan produksi sehingga biaya bunga, beban gaji dan biaya lainnya akan dibiayai dari utang dan pendapatan eksternal, yakni pendapatan yang diperoleh dari sektor industri lain.
Secara umum, ada tiga sumber pendapatan untuk sebuah klub sepak bola, di antaranya pendapatan untuk klub yang berasal dari pertandingan (termasuk penjualan tiket dan perhotelan milik klub), lisensi hak siar (termasuk distribusi dari partisipasi di liga dan piala domestik, serta kompetisi antarklub di tiap-tiap benua), dan sumber komersial (termasuk sponsor, penjualan merchandise dan operasi komersial lainnya)[7].
Dari ketiga celah pendapatan ini, terutama dari lisensi hak siar dan sumber komersial/sponsor, para pemodal dan sponsor masuk ke dalam klub sepak bola. Hasilnya, kini kita dapat melihat bagaimana kontrak dengan nominal yang fantastis terjadi di dunia sepak bola. Dengan cara-cara inilah, klub sepak bola modern menjalankan suatu industri kapitalis yang tentu saja berdampak kepada perkembangan sepak bola modern saat ini.
Dampak Kapitalisme terhadap Sepak Bola Modern
Dari hal-hal tersebut,kita telah mengetahui bahwa modal besar sudah merasuki industri sepak bola. Sepak bola modern telah terserang virus kapitalisme yang sangat akut, menyebabkan klub-klub elit  dengan mudahnya mengeluarkan uang yang sangat besar untuk memboyong pemain-pemain bertalenta yang mereka inginkan demi memenangkan berbagai piala serta memperkuat eksistensi sebagai sebuah entitas bisnis yang besar.
Salah satu contoh adalah klub kaya asal Prancis, yaitu Paris Saint Germain (PSG) yang mampu mendatangkan bintang-bintang muda seperti Neymar Jr. dan Kylian Mbapp dengan harga yang fantastis. Masing-masing dari mereka bernilai 222 juta dan 135 juta yang menjadikan keduanya sebagai pemain termahal pertama dan kedua di dunia saat ini [8].
Keadaan seperti ini merusak harga pasar dan menimbulkan inflasi yang tinggi di pasar pemain sepak bola [9]. Implikasi lain dari adanya kapitalisme yang sangat besar ini adalah terjadinya ketimpangan kualitas antar klub, Klub-klub elit akan terus sukses memenangkan setiap piala yang mereka ikuti sedangkan klub kecil hanya dapat bertengger di papan tengah hingga bawah klasemen di liga.Â
Hal-hal tersebut secara tidak langsung akan menyebabkan kompetisi kurang kompetitif karena hampir selalu dimenangkan oleh klub yang memiliki modal yang besar, dan tentu akan mengurangi bahkan menghilangkan esensi dari sepak bola itu sendiri.