Data telah menjadi sumber daya baru untuk menggerakkan mesin bisnis di era digital. Tidak hanya digunakan model bisnis digital untuk meraup keuntungan, bisnis konvensional seperti keuangan dan transportasi juga mulai bergantung pada data sebagai motor inovasi.
Pada level negara, peran industri yang menggunakan teknik data analytics semakin menunjukkan taji. Di Amerika Serikat, sektor ini dinobatkan sebagai katalis pertumbuhan ekonomi paling berpengaruh, mencatatkan kontribusi 1,7 persen dari PDB. Di Inggris, sektor ekonomi yang berkaitan dengan pengumpulan dan analisis data menghasilkan 4,8 miliar nilai tambah kotor dan 73.000 lapangan kerja. Sementara di India, industri data analytics diproyeksi tumbuh delapan kali lipat menjadi 16 miliar dollar AS pada tahun 2025.
Pertumbuhan kontribusi data analytics bagi perekonomian adalah buah dari iklim bisnis yang mendukung terjadinya pertukaran data antarwilayah di seluruh dunia. Iklim tersebut dicerminkan oleh minimnya hambatan dalam pengumpulan dan pengolahan data yang sebagian besar diekstraksi dari aktivitas pengguna internet.
Namun, kegemilangan itu kini sedang terancam seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terkait privasi dan perlindungan data pribadi di dunia maya.
Ongkos Mahal Menggadaikan Privasi
Model bisnis di era digital memang memaksa kita menggadaikan data pribadi untuk kenyamanan dalam berinternet. Kita bisa memiliki akun sosial media, mendapat hiburan, hingga mengakses materi pelajaran dengan gratis.
Sebagai gantinya, kita memberikan hak pada perusahaan untuk mengekstraksi data yang diperoleh dari mengikuti apa yang kita lakukan saat menggunakan layanan mereka. Mulai dari aktivitas komersial---seperti berbelanja di platforme-commerce; bertransaksi menggunakan e-wallet, hingga aktivitas sosial---seperti menyukai foto di Facebook  atau me-retweet kicauan politik di Twitter.
Berbagai jenis data tersebut dilebur dengan informasi pribadi seperti alamat, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, hingga pekerjaan. Kemudian data akan diolah dan dianalisis oleh algoritma khusus untuk berbagai kepentingan. Salah satu yang paling umum adalah menggunakan inferensi data untuk praktik personalized marketing.
Sederhananya, praktik ini memungkinkan pemasar menggunakan analisis data dari perusahaan teknologi untuk mengiklankan produknya kepada individu yang profilnya cocok dengan target konsumen mereka. Selain itu, ada pula teknik yang mampu menentukan berapa kemauan membayar (willingness to pay) seorang konsumen terhadap sebuah produk.
Dengan teknik ini, perusahaan bisa melakukan diskriminasi harga, yakni memberlakukan harga berbeda untuk produk yang sama kepada konsumen yang berbeda.Â
 Sementara kita menikmati rekomendasi produk yang sesuai kebutuhan, kita sebenarnya juga sedang menanggung biaya yang substansial. Sulit untuk mengukur bagaimana konsumen dirugikan oleh praktik ini. Sebab, ekonomi terkenal dengan kelemahannya dalam memberi nilai pada hal-hal yang berkaitan dengan well-being, termasuk privasi individu.
Studi berjudul The Economics of Privacy menyimpulkan bahwa data pribadi memiliki nilai privat dan komersial. Praktik eksploitasi nilai komersial---yang dilakukan oleh perusahaan teknologi saat ini---mengakibatkan berkurangnya utilitas individu dan bahkan kesejahteraan secara umum.
Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk  diskriminasi harga di pasar ritel, diskriminasi kuantitas di pasar asuransi dan pasar kredit, spam, pencurian identitas, hingga rasa khawatir karena ketidaktahuan untuk apa data digunakan.
Selain biaya ekonomi, praktik pertukaran data pribadi yang masif juga menimbulkan biaya sosial. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas penggunaan data membuka peluang terjadinya penyalahgunaan.
Salah satu bentuk penyalahgunaan yang memicu banyak kekhawatiran adalah jika data pribadi digunakan untuk kepentingan politik atau propaganda berita bohong, seperti yang baru saja terungkap lewat skandal Facebook.Â
Dalam skandal tersebut, Cambridge Analytica, konsultan politik yang terkenal dengan kemampuan psychographic profiling-nya, Â diduga menggunakan data pengguna Facebook yang diperoleh tanpa persetujuan untuk kepentingan kampanye politik Donald Trump dengan menggunakan strategi micro-targeting.
Strategi ini memungkinkan pengiklan dapat memengaruhi sikap pemilih saat melihat iklan kampanye salah satu kandidat karena telah dipersonalisasi mengikuti data psikologis dan demografis mereka. Mirisnya, kasus ini dinilai ibarat puncak dari gunung es, yang artinya skandal kebocoran data pribadi sesungguhnya jauh lebih masif.
Fenomena ini tidak serta merta menunjukkan bahwa konsumen maupun perusahaan tidak menghargai privasi. Sebuah studi yang dilakukan terhadap pengguna internet di Spanyol menunjukkan rata-rata orang hanya bersedia menjual informasi lokasinya jika dibayar di atas 10 dollas AS. Studi lain juga menemukan bahwa konsumen bersedia membayar lebih untuk barang yang dibeli apabila platform e-commerce yang bersangkutan akan melindungi privasi mereka.
Saat ini juga terdapat pasar yang memperjualbelikan riwayat pencarian seseorang di internet, di mana  beberapa perusahaan periklanan bersedia membayar harga 0,0005 dollar AS per riwayat pengguna.
Namun, Millberg (1995) menemukan bahwa manusia secara alamiah memang dihadapkan pada mental trade-off antara privacy concerns dengan privacy benefits. Fenomena ini disebut sebagai privacy calculus, yakni fenomena yang menunjukkan seseorang bisa memilih untuk melindungi privasinya di satu situasi dan membukanya di situasi lain karena menilai terlalu mahal dan tidak efektif jika menutupinya. Oleh karena itu, kita bisa memahami bahwa privasi bersifat kontekstual, sangat bergantung pada kondisi dan trade-off yang dihadapi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa perlindungan privasi masih perlu diregulasi? Bukankah individu bisa menilai dan memilih apa data personal dan seberapa banyak yang bisa ia berikan berdasarkan trade-off yang dihadapi? Sayangnya, individu, dalam hal ini konsumen, tidak tahu banyak tentang trade-off yang mereka hadapi. McDonald dan Cranor (2010) menemukan bahwa pengguna internet tidak sadar sejauh mana data pribadi bisa digunakan untuk memengaruhi sikap mereka.
Selain itu, pengguna internet juga secara alamiah mengalami immediate-gratification bias dan status-quo bias, sehingga evaluasi mereka terkait kesediaan memberikan data pribadi kerap kali kurang mempertimbangkan dampak yang akan mereka rasakan.
Pada akhirnya, status-quo membawa manfaat lebih besar pada perusahaan teknologi karena mereka tidak menginternalisasi kelebihan biaya yang ditanggung oleh konsumen. Dalam teori ekonomi, fenomena ini disebut eksternalitas negatif
Regulasi vs Swaregulasi
Dalam mengoreksi kegagalan pasar, teori ekonomi biasanya menawarkan dua pendekatan, yakni berbasis pasar (swaregulasi) dan berbasis regulasi. Pendekatan berbasis pasar meyakini dua agen ekonomi yang memiliki kepentingan berbeda bisa menemukan alokasi paling efisien, yaitu alokasi yang membuat kedua belah pihak sama-sama mendapat manfaat maksimal.
Pada tahun 1990-an, sejumlah studi menawarkan solusi swaregulasi yang mengadopsi teori coase (coasian solution) untuk menjawab dilema soal privasi.
Berdasarkan solusi ini, nilai dari data pribadi yang dikumpulkan oleh perusahaan, seperti alamat, pendapatan, atau riwayat pencarian sama dengan nilai yang harus dibayar konsumen untuk membuat data tersebut tetap rahasia.
Namun, untuk mencapai itu, syarat yang harus dipenuhi adalah hak kepemilikan (property rights) atas data pribadi harus didefinisikan dengan jelas sebagai milik salah satu pihak.mSepintas kita bisa langsung menentukan bahwa data pribadi jelas dimiliki oleh konsumen. Akan tetapi, hal ini akan sulit terjadi dengan model bisnis yang ada saat ini.
Dalam model solusi coase, jika property rights dimiliki oleh konsumen, maka perusahaan harus membayar agar konsumen mau memberikan data pribadinya. Sebaliknya, jika property rights dimiliki oleh perusahaan, maka konsumen yang harus membayar jika mereka tidak ingin diambil data pribadinya atau dengan kata lain tidak mungkin ada layanan gratis seperti sekarang.
Laudon (1996) bahkan secara eksplisit mengusulkan agar dibuatnya National Information Market, di mana konsumen bisa menjual hak untuk mengakses data pribadinya kepada perusahaan. Dengan adanya pasar ini, konsumen memiliki kontrol lebih terhadap bagaimana data mereka digunakan dan juga dapat menukarkan hak atas data pribadinya tersebut dengan uang, potongan harga, atau akses gratis ke layanan yang ditawarkan oleh perusahaan.
Pertukaran semacam ini nyatanya berlangsung setiap hari selama sejarah keberadaan internet. Namun, alih-alih menganggap ini sebagai pertukaran privasi dengan layanan, kita justru melihatnya sebagai menikmati layanan secara gratis.
Sementara itu, untuk pendekatan berbasis regulasi, peran pemerintah diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar. Dalam konteks ini, pemerintah bisa membuat biaya yang harus dibayar oleh perusahaan untuk memperoleh dan melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pertukaran data pribadi menjadi  lebih mahal. Dengan demikian, maka nilai data pribadi yang dikumpulkan akan lebih sedikit dan mencerminkan alokasi yang lebih efisien.
Dalam urusan meregulasi privasi, Eropa selalu berdiri paling depan. Salah satu regulasi yang paling baru dan berhasil membuat berbagai perusahaan di dunia ketar-ketir adalah General Data Protection Regulation (GDPR) yang resmi berlaku pada tanggal 25 Mei 2018 mendatang. GDPR memungkinkan individu sebagai data subject memiliki kontrol lebih besar terkait bagaimana datanya digunakan (right to access) serta juga memiliki hak untuk menarik datanya dari sistem (right to be forgotten).
Secara prinsip, aturan-aturan dalam GDPR ini dipastikan membuat biaya yang harus ditanggung perusahaan semakin besar. Sebab, untuk mematuhinya saja perusahaan harus mengeluarkan biaya-biaya seperti pergantian sistem dan mempekerjakan konsultan. EY mengestimasi rata-rata perusahaan Fortune 500 harus mengeluarkan biaya hingga 16 juta dollar AS. Sementara itu, jika memilih untuk tidak patuh, perusahaan wajib membayar denda sebesar 20 juta atau 4 persen dari total penerimaan perusahaan.
Baik pendekatan berbasis pasar maupun berbasis regulasi sama-sama memiliki kelemahan. Pendekatan berbasis pasar hampir tidak mungkin dipraktikkan karena membutuhkan prasyarat yang sangat ketat, seperti sistem hukum yang mendukung; struktur industri yang jelas; dan ketiadaan asimetri informasi.
Sementara itu, pendekatan berbasis regulasi, selain menghambat inovasi, juga dapat menimbulkan efek bumerang. Brandimarte (2013) menemukan bahwa regulasi yang memberikan pengguna internet lebih banyak kontrol atas data mereka (seperti yang dilakukan GDPR) dapat mendorong pengguna untuk mengambil lebih banyak risiko dengan data pribadi mereka. Akibatnya, bukan menjadi lebih skeptis, mereka justru lebih murah hati membagikan data pribadinya ke pihak lain.
Lalu, pendekatan mana yang harus dipilih? Alih-alih melihat dua pendekatan ini sebagai dua sisi mata uang yang bertolak belakang, ada baiknya melihat keduanya sebagai dua titik yang ada di dalam sebuah spektrum pilihan kebijakan. Dengan begitu, kita memiliki ruang untuk meletakkan pilihan di antara dua titik ekstrem ini.
Catatan Akhir
Era digitalisasi dan keterbukaan informasi menghadapkan kita pada dilema klasik: inovasi atau privasi. Dari berbagai studi teoretis dan empiris, para ilmuwan tampaknya berjalan ke arah yang sama untuk saling bersepakat tentang satu hal: menemukan titik keseimbangan antara perlindungan privasi individu dengan manfaat dari pertukaran informasi sangatlah sulit. Namun, ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan penting terkait isu privasi di era keterbukaan informasi ini.
Pertama, pihak-pihak yang berkepentingan dalam persoalan ini---perusahaan, konsumen, pemerintah---memiliki objektif yang berbeda dan saling berbenturan. Kedua, teknologi informasi dan isu ekonomi privasi akan terus berkembang. Oleh karena itu, tidak akan pernah ada studi ataupun regulasi yang bisa mengakomodasi kepentingan masa kini sekaligus masa yang akan datang.Â
Ketiga, alih-alih membuat regulasi yang seragam dan berlaku umum, pembuat kebijakan sebaiknya fokus memikirkan regulasi dengan pendekatan yang dinamis dan bisa dipersonalisasi tergantung konteks, jenis pasar, dan karakteristik permasalahan.
Oleh Zihaul Abdi | Ilmu Ekonomi 2016 | Wakil Kepala Divisi Kajian Kanopi 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H