Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Misteri di Balik Gugurnya Ritel di Indonesia

1 Desember 2017   16:56 Diperbarui: 5 Desember 2017   18:48 6639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Inilah alasan mengapa penjualan usaha ritel yang menawarkan fast fashion, seperti Zara dan H&M, tetap kuat. Selain itu, adanya e-commercedapat mengurangi porsi belanja konsumen. Sekarang konsumen tidak perlu belanja yang berlebihan untuk stok sampai sebulan, hanya perlu secukupnya. Jika kurang, konsumen tidak perlu harus pergi ke toko tetapi dapat memesan dengan ojek online, misalnya.

Bersantai dan Pamer

Namun meskipun berpotensi besar, e-commercesebenarnya baru mencakup 2,2% dari seluruh penjualan ritel di Indonesia -- terlalu kecil untuk menimbulkan disrupsi yang begitu besar. Ada cerita lain di balik gugurnya toko-toko ritel, yakni meningkatkanya preferensi masyarakat Indonesia terhadap leisure. Hal ini dapat menjelaskan mengapa penutupan toko ritel terjadi meskipun konsumsi masyarakat secara keseluruhan masih meningkat. 

BPS menemukan bahwa di saat konsumsi untuk makanan non-restoran, pakaian dan perumahan melambat pada Q3 2017, pengeluaran untuk restoran, hotel dan transportasi tumbuh semakin cepat. Hal ini mengindikasikan adanya peralihan dari konsumsi non-leisureke leisure.

Pergeseran ini diduga terjadi karena terus meningkatnya proporsi kelas menengah di Indonesia yang semakin menginginkan konsumsi leisure ketimbang barang-barang saja. Preferensi terhadap leisure spending, yang mencakup konsumsi gaya hidup dan pengalaman, juga didorong oleh media sosial. Masyarakat Indonesia yang didominasi kaum muda kini ingin mengeluarkan uangnya untuk hal-hal yang bisa dipamerkan di Instagram, seperti liburan dan nongkrong di mall atau restoran cantik.

 Hal ini dibuktikan oleh hasil survei Jabodetabek yang menunjukkan bahwa meskipun pusat ritel seperti Glodok Plaza, Mangga Dua Center dan ITC Cempaka Mas jumlah transaksinya turun drastis, pusat belanja mewah seperti Gandaria City dan Kasablanka Mall justru semakin populer.

Bukan Kiamat Ritel

Fenomena ritel yang terjadi di Indonesia bukanlah hal yang unik. Di negara lain seperti Amerika Serikat, digitalisasi telah lebih dulu mengubah perilaku konsumen dan mentransformasi sektor ritel. Tahun ini khususnya, usaha-usaha ritel seperti American Apparel, Macy's, Payless dan banyak lagi telah menutup lebih dari 6,700 gerainya. Bahkan, tahun 2017 mencetak rekor dengan penutupan gerai terbanyak, sampai melebihi penutupan pada tahun 2008 saat krisis finansial global terjadi. Namun meskipun banyak media yang teriak "retail apocalypse," penelitian oleh IHL Group menemukan bahwa masih lebih banyak gerai ritel yang buka dibanding yang tutup.

Yang dihadapi industri ritel bukanlah kehancuran melainkan transisi. Perkembangan teknologi dan perubahan perilaku sedang mengguncang industri ritel dan melempar keluar pemain yang tidak mampu beradaptasi, sedangkan pemain lain akan tetap berprospek cerah. Oleh karena itu, penulis berpikir pemerintah tidak perlu menyelamatkan ritel, apalagi dengan memotong Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti yang diusulkan oleh APRINDO.

Bisnis ritel harus bisa lebih adaptif terhadap perkembangan di masyarakat. Toko-toko ritel tidak bisa sekadar menyediakan barang, tetapi harus mengembangkan customer experiencebagi para pengunjung serta mengintegrasikan layanannya dengan teknologi digital. Misalnya, toko Burberry di London memiliki desain interior yang menarik serta cermin yang secara otomatis menunjukkan informasi mengenai produk yang sedang dipegang konsumen. Masyarakat zaman sekarang tidak hanya menginginkan barang tetapi juga haus akan pengalaman. Jika ritel tidak peka akan hal ini, bersiaplah untuk gulung tikar.

Oleh I Gede Sthitaprajna Virananda | Ilmu Ekonomi 2016 | Staf Kajian Kanopi 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun