Menjelang akhir tahun 2017, dunia bisnis Indonesia sempat dihebohkan oleh tidak hanya satu tetapi serangkaian penutupan gerai ritel, mulai dari 7-Eleven, Ramayana, Lotus sampai Debenhams. Selain mengurangi jumlah toko, beberapa perusahaan ritel seperti GOLD dan RIMO juga membanting setir dan beralih ke sektor lain seperti properti dan infrastruktur.Â
Sejumlah pihak, termasuk Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), menyalahkan daya beli masyarakat Indonesia yang dianggap melemah. Mereka menghubungkan penutupan gerai ritel dengan indikator makroekonomi tersebut sebagai justifikasi untuk mendesak pemerintah agar segera bertindak. Namun apakah benar daya beli melemah dan ritel perlu diselamatkan?
Definisi dan Data
Ritel atau eceran mengacu pada penjualan barang dan jasa dalam satuan kecil untuk langsung dikonsumsi atau digunakan, bukan untuk dijual kembali. Berdasarkan definisi tersebut, ritel sebenarnya juga mencakup online shopping dan juga jasa-jasa seperti restoran dan salon. Oleh karena itu, penggunaan kata "ritel" dalam mendeskripsikan fenomena penutupan toko-toko barang sebenarnya agak menyesatkan karena seakan-akan seluruh industri ritel melemah. Kita tidak bisa menggeneralisasi industri ritel karena sektor-sektor dalam industri ritel memiliki cerita yang berbeda-beda.
Selain kerancuan pada definisi, misteri di balik kelesuan ritel juga disebabkan oleh data yang kurang konklusif. Memang benar, penjualan ritel mengalami penurunan untuk barang-barang peralatan informasi (19,8%), perlengkapan rumah tangga (18,2%), dan suku cadang (4,7%) pada Agustus 2017 dibanding Desember 2016. Terjadi juga perlambatan yang signifikan untuk penjualan ritel fast moving consumer goods (FMCG) seperti bahan makanan.Â
Namun bagian lain dari industri ritel ternyata masih bergairah. Pada periode yang sama, terjadi peningkatan penjualan barang budaya dan rekreasi sebesar 0,5%. Selain itu, data dari BPS mendapatkan bahwa konsumsi barang leisureseperti restoran dan hotel pada Q3 meningkat sebesar 5,55% year-on-year, sedangkan transportasi dan komunikasi tumbuh sebesar 5,86%.
Oleh karena itu, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa gugurnya gerai ritel disebabkan oleh daya beli melemah. Bahkan, konsumsi rumah tangga Indonesia meningkat sebesar 4,93% pada Q3 2017 year-on-year. Indeks Kepercayaan Konsumen juga naik sebesar 5,63% pada Agustus 2017. Hal yang lebih tepatnya terjadi adalah perubahan perilaku konsumsi di masyarakat yang kini mulai bergeser ke online shoppingdan leisure spending.
Toko vs Teknologi
Melihat data yang ada, penutupan beberapa gerai mungkin hanya merupakan bagian yang wajar dari siklus bisnis, tanpa indikasi yang signifikan di tingkat makro. Akan tetapi, kita tidak bisa mengabaikan adanya pergeseran perilaku konsumen yang nyata mentransformasi sektor ritel. Perkembangan teknologi merupakan faktor utama dari pergeseran ini, dimana banyak orang memandang bahwa e-commerce merupakan ancaman terbesar bagi ritel.Â
E-commerce memotong biaya bagi konsumen dengan memudahkan mereka untuk menelusuri berbagai pilihan dari banyak toko yang berbeda, kapanpun dan di manapun dari ponsel mereka. Hal ini berdampak pada toko-toko ritel dengan tempat yang tidak strategis. Selain mudah bagi konsumen, e-commerce juga lebih ekonomis bagi bisnis dibanding memiliki terlalu banyak toko fisik atau brick-and-mortar stores.
Media sosial juga memiliki efek yaitu mengakselerasi pergantian tren dan selera di kalangan konsumen. Dengan adanya Instagram dan LINE Shopping, misalnya, pemasaran digital dapat dengan begitu cepat memunculkan tren baru dan menggantikan yang lama. Hal ini memperketat persaingan di sektor ritel dan membuat bisnis-bisnis, terutama toserba tanpa fokus konsep pada produk tertentu, gugur jika tidak mampu cepat beradaptasi.Â