Persoalan tentang bagaimana pola asuh yang baik masih saja hangat diperdebatkan dari generasi ke generasi. Beragam studi dan literatur menganjurkan strategi pola asuh yang berbeda dan tidak jarang saling berseberangan. Tidak adanya titik temu inilah yang membuat orang tua di dunia tidak pernah sepakat tentang cara terbaik membesarkan anak. Lantas, mampukah ekonomi menjembatani perdebatan ini?
Enam tahun lalu, seorang ibu yang juga merupakan profesor di Yale Law Schoolbernama Amy Chua menulis sebuah buku berjudul Battle Hymn of the Tiger Mother.Dalam bukunya, Ia mendeskripsikan pola asuh orang tua di Tiongkok yang diterapkan langsung kepada dua putrinya. Orang tua di Tiongkok meyakini bahwa anak mereka harus mampu menjadi yang terbaik di bidang akademik. Oleh karena itu, mereka harus 'memaksa' sang anak untuk bekerja keras dalam mencapai tujuan-tujuan yang mereka tetapkan. Jika sang anak tidak mampu, maka bagi ibu seperti Amy, hal tersebut adalah kegagalan mereka dalam mengasuh [1].
Baru-baru ini sejumlah media juga menyoroti pola asuh super protektif yang marak di abad 21. Pola asuh yang lebih akrab disebut helicopter parenting ini identik dengan orang tua yang selalu 'menguntit' kegiatan anaknya. Heilcopter parents tidak ingin anaknya terluka, mengalami tekanan, dan menghadapi kepayahan hidup. Konsekuensinya, alih-alih menjadi manusia sempurna dan bahagia, anak yang dibesarkan dengan cara ini akan kehilangan kesempatan untuk belajar dari kegagalan, tidak mampu menoleransi frustrasi, dan kesulitan dalam proses pemecahan masalah [2].
Dua contoh ekstrem di atas, serta beragam rupa pola asuh lainnya memunculkan kegundahan banyak pihak. Tidak terkecuali ekonom--yang juga menjadi orang tua. Sehingga muncul sebuah diskursus baru di kalangan ekonom untuk mengaplikasikan disiplin ilmu yang mereka pelajari dengan ikhtiar merawat dan membesarkan anak.
Joshua Gans adalah salah seorang ekonom yang giat menyoroti persoalan pola asuh dari sudut pandang ekonomi. Orang pertama yang memunculkan istilah parentonomics (parentingdan economics)ini memandang permasalahan keseharian yang dihadapi orang tua dalam membesarkan anak sebenarnya dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi. Lain lagi dengan ekonom Bryan Caplan yang menulis buku Selfish Reasons to Have More Kids. Caplan dalam bukunya menyinggung alasan mengapa memiliki anak banyak justru tidak semengerikan yang orang bayangkan. Tak ketinggalan duo penulis buku fenonenal, Freakonomics, Steven Levitt dan Stephen J. Dubner yang dalam buku-bukunya seringkali menyisipkan persoalan mengasuh anak dalam bingkai ekonomi.
Lantas pertanyaan yang muncul kemudian adalah, ketika kita bicara tentang pola asuh, mengapa kita harus percaya pada ekonom? Bukankah ilmu ekonomi kerap menggunakan pendekatan yang tidak humanis dan terlalu kaku pada pertimbangan cost and benefit? Mari kita cari tahu.
Pertama, mungkin kita bertanya mengapa ada perbedaan yang signifikan antara pola asuh di satu negara dengan negara lain? Buku Amy Chua dengan akurat memuat gambaran kontras tipe orang tua chinesedengan western yang prinsipnya bagaikan minyak dan air. Ternyata, penelitian Doepke dan Ziliboti mampu menjelaskannya. Menurut studi yang mereka lakukan, tingkat kesediaan orang tua menerapkan pola asuh intensif, seperti Tiger Mom, memiliki korelasi dengan tingkat ketimpangan di negara ia tinggal [3].
Di negara di mana pendidikan dan kerja keras sangat dihargai atau orang-orang dengan pendidikan rendah sulit mendapatkan kehidupan yang layak, orang tua akan semakin termotivasi menekan anaknya untuk belajar dan meraih prestasi akademik. Artinya, mereka perlu menjadi orang tua dengan pola asuh intensif. Sementara itu, pada perekonomian yang ketimpangannya rendah, dalam hal ini misalnya seniman atau pekerja lepas hanya menerima gaji sedikit lebih kecil dari dokter dan insinyur, pola asuh yang diterapkan orang tua akan cenderung lebih longgar dan permisif.
Kedua, kita juga boleh jadi penasaran mengapa ada orang tua yang dengan sangat berlebihan dalam menjalani peran sebagai pengasuh. Misalnya, mengajari angka dan huruf semenjak umur dua tahun, menyuapi anak dengan makanan organik, atau mendaftarkan anak pada kursus alat musik di usia belia. Apakah para orang tua tersebut yakin bahwa segala inputyang mereka berikan tersebut menghasilkan returnyang sepadan?
Rupanya, mayoritas ekonom cukup sepakat bahwa pola asuh intensif atau obsesif yang diterapkan orang tua pada anak, efeknya tidak sesignifikan yang kita bayangkan [4]. Segala upaya orang tua seperti yang disebutkan tadi nyatanya tidak memiliki pengaruh besar terhadap kemungkinan anak menjadi figur ideal versi orang tua (returnyang tinggi).