Hasil tambang, perikanan, hingga rempah-rempah telah menjadi tumpuan perekonomian Indonesia sejak puluhan tahun. Nyatanya, sebagai negara dengan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, banyak contoh yang membuat Indonesia wajib waspada dengan kekayaannya. Salah satu peringatan bagi Indonesia belum lama ini muncul dari pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani; tentang banyaknya negara yang justru hancur karena kekayaan yang dimilikinya. Pertanyaanya, kemanakah sumber daya akan membawa perekonomian Indonesia? Mengikuti Norwegia yang sukses, atau Venezuela yang hancur karenanya?
Norwegia dan Venezuela: Serupa, tapi (Sayangnya) Tak Sama
Masalah commodity curse tentu menarik jika melihat dua kasus – Norwegia dan Venezuela – yang bertolak belakang. Sebelum masuk ke studi kasus Norwegia dan Venezuela, penting untuk mengetahui arti dari commodity curse. Commodity cursedidefinisikan sebagai kutukan yang dialami negara-negara dengan sumber daya melimpah. Kutukan tersebut muncul dalam bentuk ketergantungan terhadap SDA dan pertumbuhan ekonomi yang cenderung lebih rendah dari negara yang tidak memiliki SDA.[1]
Venezuela merupakan contoh tragis dari commodity curse.Pada tahun 2015, Venezula merupakan eksportir minyak terbesar ke 9 di dunia dengan nilai ekspor sebesar US$27.8 miliar (3,5% total ekspor minyak secara global)[2]. Sebagai perbandingan, nilai ekspor Indonesia hanya seperenam nilai ekspor minyak Venezuela. Akan tetapi, besarnya ketergantungan terhadap minyak (95% GDP berasal dari ekspor minyak) menyebabkan perekonomian Venezuela hancur ketika harga minyak anjlok. Pasca penurunan harga minyak, Venezuela menjadi negara dengan pertumbuhan GDP (-8%) dan tingkat inflasi (481% per tahun) terburuk di dunia[3].
Di sisi lain, Norwegia merupakan contoh dari negara yang berhasil mengelola SDA-nya dan menjauh dari commodity curse. Sampai saat ini, Norwegia merupakan pengekspor minyak terbesar ke 11 di dunia[4]. Nyatanya, meskipun minyak berkontribusi lebih dari 50% terhadap GDP Norwegia, penurunan harga minyak tidak terlalu mengganggu perekonomian Norwegia. Meskipun tingkat pengangguran di Norwegia juga meningkat dan pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan, setidaknya hal tersebut tidak membawa Norwegia ke dalam sebuah krisis.
Mengapa Nasib Norwegia dan Venezuela berbeda?
Perbedaan paling mendasar antara kedua negara terlihat dengan membandingkan GDP per capita (tentu tidak adil membandingkan GDP karena penduduk Venezuela 6 kali lebih besar dari Norwegia). Pada tahun 1960, GDP per capita Norwegia “hanya” 40% lebih besar dari Venezuela, sedangkan di tahun 2014 GDP per capita Norwegia hampir 6 kali lebih besar dari Venezuela[5]. Angka ini menjadi indikasi bahwa Venezuela gagal memanfaatkan SDA-nya dan terjebak dalam commodity curse.Pertanyaannya, mengapa?
Alasan pertama adalah kualitas institusi politik di kedua negara tersebut. Secara umum, negara yang demokratis dan memiliki kualitas institusi yang lebih baik memiliki peluang lebih rendah untuk terkena commodity curse[6].Melihat dari bentuk pemerintahannya, secara teoritis Venezuela harusnya lebih demokratis dari Norwegia (Venezuela menganut republik federal sedangkan Norwegia menganut monarki konstitusional).
Nyatanya, kondisi pemerintahan Venezuela lebih tepat dikatakan menganut sistem otoriter dibanding demokrasi. Keputusan-keputusan pemerintah untuk menekan suara oposisi merupakan salah satu bukti buruknya demokrasi di Venezuela[7]. Selain itu, maraknya korupsi di lingkaran pemerintahan semakin menunjukkan rendahnya kualitas institusi politik. Hal ini berbanding terbalik dengan Norwegia, dimana Norwegia sudah memiliki sistem demokrasi yang stabil sejak awal kemerdekaannya dan institusi politik yang berfungsi dengan baik serta dengan tingkat korupsi yang rendah[8].
Kedua adalah adanya fenomena “Dutch Disease”. ”Dutch Disease” adalah istilah untuk masalah munculnya satu komoditas yang menjadi “primadona”, sehingga menarik arus modal ke dalam negeri. Peningkatan arus masuk modal menyebabkan mata uang sebuah negara terapresiasi. Akibatnya, daya saing ekspor bagi komoditas lainnya melemah. Ketika komoditas atau sumber daya tersebut sudah habis, perekonomian berada dalam kondisi yang lebih buruk karena tidak ada sektor lain yang menjadi tumpuan.
Pada kasus Venezuela, kehancuran harga minyak menyebabkan perekonomiannya ikut terseret karena tidak ada satupun industri yang mampu menopang perekonomian. Sebagai gambaran, saat ini ekspor minyak memegang peranan atas setengah GDP Venezuela. Jika sektor yang berkontribusi terhadap setengah dari GDP terkena masalah, jangan terkejut melihat perekonomian Venezuela ikut terseret dan terkena masalah yang sangat menghawatirkan.
Di sisi lain, Norwegia juga terindikasi terkena “Dutch Disease” mengingat kontribusi ekspornya yang cukup besar (34% dari total GDP). Namun, ketergantungan yang relatif lebih rendah menyebabkan dampak turunnya harga minyak tidak terlalu berpengaruh bagi perekonomian. Ketika harga minyak masih tinggi, pemerintah Norwegia berhasil memanfaatkan monmentum tersebut untuk mendorong pertumbuhan sektor lainnya, seperti industri alumunium, perikanan, dan kesehatan. Dampaknya, ketika harga minyak anjlok, Norwegia masih memiliki sektor lain yang dapat diandalkan.
Indonesia: Next Venezuela, atau Next Norway?
Dengan melihat kasus dari dua negara tersebut, pertanyaan yang jauh lebih krusial muncul, yakni “Bagaimana prospeknya untuk Indonesia; akan menjadi Venezuela atau Norwegia yang baru?”
Berdasarkan komposisi ekspornya, saat ini komoditas yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia adalah batubara (10% dari total ekspor; 2,5% dari GDP) dan crude palm oil(8,9% dari total ekspor; 2,3% dari GDP). Melihat angka ini, terlihat bahwa tidak ada satu sektor yang menjadi tumpuan utama. Akan tetapi, patut dicermati bahwa 5 hasil ekspor utama Indonesia adalah barang yang sifatnya ekstraktif dan jumlahnya terbatas[9]. Implikasinya, tetap ada risiko fluktuasi harga yang dapat memengaruhi perekonomian Indonesia.
Kualitas institusi politik di Indonesia juga berperan penting menentukan apakah Indonesia terkena Commodity Curse.Meskipun tidak seburuk Venezuela, indikator peringkat antikorupsi dan demokrasi Indonesia (masing-masing ke-77 dan ke-60)[10] tidak bisa dibilang membanggakan. Belajar dari kasus Norwegia, tingginya kualitas institusi politik (Peringkat 5 untuk antikorupsi dan 7 untuk demokrasi) merupakan faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain kedua hal tersebut, kontribusi sektor manufaktur di Indonesia juga menunjukkan tren yang menurun. Padahal, tulang punggung dalam perekonomian seharusnya ada di sektor manufaktur. Oleh karena itu, selain melakukan perbaikan di institusi politik, pemerintah harus mendorong pertumbuhan sektor manufaktur yang selama ini ditinggalkan. Jika kedua hal ini dapat dilakukan, perekonomian Indonesia akan melaju dengan cepat dan menjauh dari Commodity Curse; Jika tidak, berdoalah semoga Indonesia tidak menjadi Venezuela 2.0.
Oleh: Fandy Rahardi | Kepala Divisi Kajian Kanopi 2016 | Ilmu Ekonomi 2014
--
Referensi:
[5] World Bank. 2016. World Bank Open Data.Dikutip dari http://data.worldbank.org/
[8] Steinar, Holden. 2013. Avoiding Resource Curse The Case Norway. Norway: University of Oslo
[10] World Audit. 2015. World Democracy Audit.Dikutip dari http://www.worldaudit.org/corruption.htm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H