Mohon tunggu...
Harie Diningrat
Harie Diningrat Mohon Tunggu... -

saya adalah pria yang diciptakan oleh Allah,,untuk beribadah kepadanya,mengerjakan yang ma'ruf dan meninggalkan yang mungkar :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekolah Kapitalis, Siswa Menangis!

7 September 2013   06:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:14 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia bisnis, sangatlah luas. Apapun bisa dibisniskan dan dijadikan peluang bisnis. Sekarang ini lagi trend bisnis pelatihan, seminar dan kelas-kelas bisnis. Sebelumnya, saya tidak bisa membayangkan seminar yang cuma beberapa jam tapi biayanya bisa puluhan juta rupiah. Dengan diiming-imingi perubahan, dahsyat, revolusi dan sebagainya bisnis ini terbukti cerah dan menjanjikan, buktinya pesertanya tetep membludak.

Sepintas apa yang menjadi jualan mereka berupa berani mimpi, berani berubah, berani mencoba adalah hal-hal yang abstrak dan mengawang-ngawang. Tapi berkat kepiawaian nara sumber memainkan emosi peserta, body languange, pengalaman hidup dan garansi setelah mengikuti pelatihan membuat daya dobrak bagi diri peserta yang tadinya tidak mungkin, menjadi mungkin, tidak bisa menjadi bisa, tidak ada menjadi ada, diam menjadi bergerak. Mereka berani jualan (busines) mimpi, mimpi akan kehidupan yang lebih baik.

Hebat benar mereka, telah menginspirasi bayak orang. Dan ilmunya akan selalu dikenang menjadi titik awal perubahan.

Menurut saya, bisnis pelatihan sifatnya bukan barang dan bukan juga jasa. Karena kalau jasa harus nampak hasilnya dan jelas  pekerjaannya (job desk nya). Jadi inilah bisnis yang bagi saya dulu berpandangan mana ada yang mau beli, mau ikut kelas, apalagi bayar mahal! Ternyata salah pandangan saya ini.

Bidang pendidikan merupakan lahan empuk dan subur untuk dijadikan bisnis. Karena menurut pakar bisnis, ada 2 bidang bisnis yang tidak akan pernah mati, dalam keadaan perang sekalipun; yaitu, pendidikan, dan kesehatan. Orang takut bodoh, karena bodoh berakibat miskin. Begitu juga orang tidak mau sakit, maka apabila sakit maka akan membla-belain mengobati penyakitnya demi mendapatkan kesembuhan.

Ada sebutan bagi bisnis pendidikan yaitu Edu Preneurship. Dimana pendidikan menjadi lahan basah untuk berbisnis. Bisnis di bidang pendidikan bersifat padat modal, mahal dan jangka panjang.

Untuk menilai sukses tidaknya bisnis pendidikan tidak bisa ditentukan oleh bilangan tahun, karena orang perlu bukti. Bayangkan, untuk bisnis sekolah tingkat SD, paling tidak indikator berkualitasnya sekolah tersebut,  dilihat dari lulusannya. Berati harus nunggu selama 6 tahun untuk mendapat kepercayaan masyarakat. Tapi bisa juga berkualitas dilihat dari proses pendidikannya, input yang diberikan kepada siswa, juga hasil berupa kemampuan kognitif, apektif dan psikomotorik siswa.

Bisnis pendidikan adalah bisnis kepercayaan, maka sekalinya dipercaya image itu akan melekat pada lembaganya. Tidak perlu mencari siswa, tapi orang tua lah yang berbondong-bondong mencari lembaga semacam itu.  Sehingga percaya gak, ada sekolah di bintaro yang waiting list nya 3 tahun. Jadi sekolah tersebut tidak pernah membuka pendaftaran, seringnya juga menutup pendaftaran. Padahal harga uang pangkal untuk masuknya saja senilai biaya semesteran di kuliahan sampai lulus. Jadi kalau mau masuk Play Group harus daftar sejak bayi dalam kandungan, hehehe.

Kalau diperhatikan, sekarang ini bisnis pendidikan makin subur dan menjamur. Dengan menu jualan yang bervariasi seperti, bilingual, full english, lebel IT (Islam terpadu), label Plus, kurikulum Cambridge, dll membuat sekolah seperti perusahaan, profit oriented. Salahkah? tentu tidak.  Tapi ada hal yang ekslusif bahwa sekolah-sekolah tersebut hanya untuk kalangan berduit, borjuis bukan untuk orang miskin. Kualitas sebanding dengan harga, benar adanya. Tapi kalau pendidikan membuat kastanisasi kehidupan, pemenuhan otak, namun pengeringan hati, patut dipertanyakan; bahwa pendidikan telah kehilangan rohnya. Kini di dunia pendidikan tidak bisa lagi diajarkan toleransi, saling menghargai dan saling membutuhkan. Lho bagaimana mau toleransi, saling menghargai dan saling membutuhkan karena di suatu sekolah siswanya bersifat homogen. Kaya, kaya semua. Miskin miskin semuanya. Di suatu sekolah hanya ada satu agama tertentu saja.

Namun siapa yang peduli? tidak ada. Apalagi kini, yang terjadi adalah leberalisasi pendidikan. Siapa saja boleh mendirikan dan mengadakan pendidikan. Bahkan pendidikan luar negeri pun dengan mudah bisa masuk ke sini. Undang-undang BHMN bagi perguruan tinggi yang dibatalkan oleh MK menunjukan wajah pendidikan kita sebenarnya, liberal.

Inilah moment  untuk berbisnis bidang pendidikan. Bisnis pendidikan sebagai provit oriented, MENCARI KEUNTUNGAN.  Benar tidaknya, ini daerah abu-abu, dan sudah terjadi. Pemerintah jelas kecolongan atau tidak perduli membuka kran kebebasan bagi pendirian sekolah/universitas.  Jangan2 menikmati setorannya ya.  Ah.. daripada mengumpat kegelapan malam, lebih baik menyalakan lilin. Dari pada mengumpat pemerintah lebih baik mendirikan sekolah sendiri, bisnis bidang pendidikan, lezaaaat.

Bayangkan, kini perusahaan-perusahan besar mendirikan sekolah sebagai profit wings nya. Bohong kalau di nyatakan sebagai CSR. Lebih hebat lagi, mereka menggiring siswanya Play Group yang sekolah di lembaga dia untuk masuk SD, lulus  SD digiring ke SMP, terus ke SMA. Dan dengan garansi jaminan kerja di lingkungan dia siswa lulus SMA diarahkan ke Universitas dia. Lulus kuliah, bekerja dilingkungan (perusahaan) dia, setelah berpenghasilan dan sukses mereka  diarahkam  agar membeli produk dia yaitu perumahan. Dia hidup, sekolah, kuliah, bekerja, berpenghasilan, ber- pengeluaran, beranak-pinak  semuanya berada dan dapat oleh dia perusahaan besar tersebut. Dia mengeluarkan gaji dan dia pula menyedot uangnya. HEBAT YA …..  Inilah blunder bagi si miskin, berkurangnya kesempatan dan daya saing.

Kalau kita masih berfikir, bolehkan bisnis pendidikan? mbok, ya telat, mang kemana aja, hehe. Tapi, better let than never. Ayo bisnis pendidikan.

Bisnis pendidikan itu tidak pernah rugi. Andai sekolah yang sudah berjalan 5 tahun bubar, tidak ada murid satu pun, itu pun tidak akan rugi, tetap untung. Caranya? nilai propertinya selalu naik, jual aja.

Dan satu hal yang perlu diingat, bisnis pendidikan menelorkan banyak turunan. Seperti  guru, buku, ATK, catering, jemputan, lembaga bimbingan belajar, dll. Bahkan kini lembaga pendidikan menjadi market bagi promosi sebuah produk. Berkedok sponsorship dan kerjasama produk makanan, kesehatan, olahraga, bimbel, menjadikan sekolah sebagai tujuan promosi. Terjadilah barter produk, dan bagi owner sangatlah jelas bahwa ini sangat menguntungkan dan menambah pundi-pundi pendapatan.

********

Sistem kapitalis yang diciptakan sejak berdirinya orba di Indonesia yang telah berlangsung selama lebih dari setengah abad ini telah berakar di seluruh lini kehidupan bangsa. Undang-undang Dasar 1945 telah dicampakkan oleh Negara. Lembaga-lembaga sosial seperti pendidikan, kesehatan dan
keagamaan pun telah berubah menjadi lembaga bisnis. Hal itu dikarenakan system birokrasi telah menjadikan jabatan atau kedudukan sebagai kapital untuk memperkaya diri, baik yang bersifat umum maupun professi seperti dokter dan guru. Betapa sedihnya melihat para guru dan pimpinan sekolah yang
sejak pada awal berdirinya Republik tercinta ini, kedudukan seorang guru menjadi orang yang sangat dihormati dan dikagumi tidak hanya oleh para anak didik, tapi juga oleh para orang tua di kampung-kampung, sehingga orang-orang betawi  memanggilnya dengan sebutan Tuan Guru. Sebagai penghormatan kepada para guru menjadi pendidik anak-anak bangsa, maka sangat dikenal istilah guru sebagai pahlawan tanpa jasa. Hal itu berawal dari sikap dan perilaku para guru termasuk pula para kepala-kepala sekolah sejak berdirinya NKRI hingga tahun 60-an, beliau benar-benar bekerja tanpa pamrih atau paling tidak sepi ing pamrih rame ing gawe yang dirasakan oleh para orang tua. Padahal secara ekonomi, kehidupan mereka tidak berbeda dengan rakyat kebanyakan, yang pada umumnya hanya berkendaraan sepedah ontel atau berjalan kaki.

Berbeda dengan yang disebutkan diatas, sejak system kapitalis dibangun oleh orba, jabatan guru menjadi jabatan professi yang didorong memiliki kehidupan berbeda dengan rakyat miskin dan jabatan itupun kemudian berfungsi sebagai kapital di dalam bisnis pendidikan.

Ketika  di sekolah-sekolah marak dengan perdagangan pakaian seragam (dari baju beserta badge hingga alas kaki berupa sepatu yang juga harus seragam), buku-buku wajib, telah membuat banyak anak-anak yang tidak dapat mengikuti pendidikan karena orang tua mereka tidak mampu alias miskin. Secara
psikologis hal ini sangat berdampak pada anak-anak murid. Maka jangan heranlah jika tersiar berita adanya anak SMP yang mengakhiri hidup dengan menggantung diri yang disebabkan karena orang tua mereka tidak mampu membiayai sekolah.

Para pimpinan sekolah mengalihkan penarikan pungutan kepada para murid dengan berbagai cara. Misalnya di salah satu sekolah mewajibkan murid untuk mengikuti renang pada setiap seminggu sekali  dengan biaya belasan hingga puluhan ribu. Belum lagi ongkos dan atau  jajan atau makan agar mereka tidak kelaparan atau kalau mereka harus pulang makan dulu ongkosnya menjadi dobel. Begitu juga mengenai kegiatan TryOut yang harus diikuti beberapa kali dan kesemuanya itu para murid diharuskan mengeluarkan dana. Kegiatan-kegiatan tersebut dikaitkan dengan penilaian mata pelajaran, sehingga beberapa sekolah mengambil kebijakan kepada yang secara fisik tidak dapat mengikuti kegiatan tersebut, akan tetapi mereka harus membayar biayanya. Jika tidak, maka nilai mata pelajaran mereka akan dikurangi.

Lain lagi yang terjadi di sekolah-sekolah swasta, ulangan umum sebagai taktik untuk memaksa agar para murid tidak menunggak uang pembayaran sekolah. Jika pada kesempatan ulangan umum mereka tidak bias mencicil, maka mereka tidak dapat mengikuti ulangan umum. Para orang tua murid pada umumnya tidak berani berhadapan dengan guru atau pimpinan sekolah ketika saat itu mereka tidak memiliki uang untuk memenuhi ketentuan tersebut, sebab kalaupun ada orang tua murid yang memiliki keberanian, maka ia harus bersitegang terhadap guru atau pimpinan sekolah.

Bila system pendidikan semacam ini terus dibiarkan dan para pimpinan sekolah atau guru tidak menyadari akibat-akibat yang akan timbul, maka pada hakekatnya system pembodohan akan terus terjadi dan fungsi lembaga pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa akan menjadi
sia-sia. Ayo sekolah. Ayo BISNIS SEKOLAH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun