Mohon tunggu...
Kanita Shinta Wati
Kanita Shinta Wati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

nothing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menggapai Cahaya

25 Februari 2015   04:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:33 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karya : Kanita Shinta Wati

Dalam perjalanan pulang sekolah, melewati sebuah gang kecil bergelombang, matahari telah menenggelamkan sebagian tubuhnya dan aku melompat dari boncengan sepeda Willy yang belum berhenti sempurna. “Thanks Wil, besok pagi berangkat pagi ya, aku ada piket!” ucapku sambil berlari masuk rumah. Willy membalas dengan bel sepedanya yang berbunyi ‘kring’ itu. Ya, aku dan Willy bertetangga bahkan lebih dari itu. Kami sudah berteman sejak aku berumur 10 tahun, dan sekarang aku sudah 17 tahun. Namaku Sutra. Aku seorang anak SMA yang sebentar lagi akan mengikuti Ujian Nasional (UN). Karena itulah aku sering pulang sore untuk mengikuti pendalaman materi di sekolah. Belakangan ini aku jadi sering mengikuti pelajaran dengan serius. Orang tuaku juga selalu memantau kegiatan belajarku. Keadaan ini sangat berbeda dengan apa yang dialami Willy. Terkadang aku merasa khawatir padanya. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih kecil. Sejak itulah ayahnya mengajaknya pindah ke sebuah rumah yang dekat dengan tempat ayahnya bekerja. Dan pada saat itulah aku bertemu dengannya. Waktu itu umurku 9 tahun. Aku bertemu dengannya di sebuah taman bermain. Saat itu ia sedang menangis sendirian. Ayah Willy sangat sibuk sebagai seorang pekerja kantoran. Sekarang Willy berumur 18 tahun. Selisih setahun denganku karena pada saat kelas 5 SD Willy tidak naik kelas dan akhirnya ia menjadi teman sekelasku. Ia tak pernah terlihat antusias saat mengikuti pelajaran di kelas. Sering tidur di kelas dan jarang mengerjakan tugas. Dia juga tipe orang yang cuek dengan dunia sekitar, mka dari itu ia tidak punya banyak teman. Mungkin hanya aku teman yang dimilikinya. Menurutku dia itu gampang ngambek. Pernah suatu ketika aku bertanya,

“Wil, kamu nggak belajar, nanti kan ada ulangan Kimia, apa mau aku pinjami buku catatan?” tanyaku ramah. “Sudahlah, kau pakai sendiri saja buat belajar.” Balas Willy ketus. “Kenapa sih kamu nggak mau belajar, kamu nggak sadar apa, sebentar lagi kita mau UN?”, protesku. Willy hanya terdiam. “Jawab Wil, kamu mau kamu nggak lulus karena UN kamu jelek? Sebagai sahabat, aku khawatir dengan masa depanmu, kamu itu sehar…”, “Kamu kenapa sih, kamu kesurupan?”, sahut Willy memotong kata-kataku. “Aku serius Wil, kenapa, jawab dong!”, paksaku. Kali ini Willy menampakan wajah seriusnya. Ia terdiam agak lama dan aku masih sabar menunggu penjelasannya. “Karena aku ingin hidup bahagia.”, jawab Willy tiba-tiba. “Apa?” tanyaku meminta penjelasan lebih lanjut.”Sejak kecil aku sudah sering merasakan penderitaan,Sut. Saat umurku masih 6 tahun aku sudah harus menyaksikan pertengkaran dan percekcokan orang tuaku. Dan bahkan ibuku harus pergi meninggalkanku karena sebuah kecelakaan. Lalu ayahku memisahkan aku dari semua sahabatku dengan mengajakku pindah rumah. Sekarang aku hanya tinggal sendirian di rumah karena ayahku yang selalu pulang malam. Apa kau bisa merasakan penderitaanku Sut? Apa sekarang kau ingin menambah penderitaanku dengan menyuruhku belajar setiap hari?” jelasnya panjang lebar. “Bukan itu, maksudku.”, jawabku menyesal. “Lagipula kau itu siapa? Apa kau itu ibuku, menyuruh-nyuruhku untuk belajar?”

Karena kejadian itu, butuh waktu sekitar satu minggu untuk bisa berbaikan dengannya. Aku heran, bagaimana bisa ia begitu tak peduli dengan masa depannya, bagaimana bisa ia menganggap belajar itu membuatnya menderita. Bukankah kebahagiaan itu harus diperjuangkan? Dengan belajar salah satunya.

Hari ini, seperti biasa, saat jam istirahat kedua, Aku dan Willy menghabiskan waktu untuk jajan di kantin sambil mengobrol. Aku selalu memesan mie ayam sedangkan Willy memesan bakso. Ya, itu adalah makanan favorit kami di kantin. Obrolan serius pun dimulai.

“Wil, apa cita-citamu setelah ini?” kemudian Willy menjawab, “Em, entahlah Sut, aku nggak mau terlalu pusing memikirkan itu. “Heh! Tau nggak, setelah lulus nanti aku mau masuk ke universitas kedokeran,Wil, aku mau jadi dokter spesialis anak. Uuh, membayangkannya saja rasanya bahagia sekali,bisa menolong anak-anak kecil yang sakit, aku ingin seperti itu!”, pamerku pada Willy dengan harapan agar dia juga termotivasi.

“Kriiiiing…”, bel masuk berbunyi. Belum sempat aku mendengar jawaban dari Willy, guru matematika, Bu Erna sudah masuk ke kelas kami. Beliau menerangkan tentang materi program linear. Materi yang cukup sulit aku pahami. Di akhir jam pelajaran, Bu Erna memberi perintah untuk mendiskusikan suatu soal dan mengerjakannya secara kelompok. Aku, Willy, Rama, dan Shinta teman sekelasku menjadi satu kelompok.

“Silahkan dikerjakan, besok akan saya nilai, bagi yang tidak mengerjakan, atau mengerjakan tapi masih salah akan ibu kasih soal lebih banyak lagi. Terimakasih, selamat sore.” Akhirnya sepulang sekolah, ketiga temanku itu ikut ke rumahku untuk mengerjakan tugas bersama.

“Bagaimana ini, kenapa susah sekai?”, tanyaku pada ketiga temanku. “Iya, ini apa sih maksudnya?”, timpal Shinta.

Sudah berjam-jam kami berkutat dengan satu soal itu tapi kami tidak menemukan jawabannya. Angka yang kami tulis sejak awal hanya berputar-putar di tempat saja. Hari semakin larut, perlahan mereka berpamitan untuk pulang.

“Apa kau juga mau pulang? Kamu tidak mau membantuku menyelesaikan soal ini? Oh iya aku lupa, kamu kan tidak mau disuruh belajar.” Ucapku dengan nada kesal. “sudah sana pulang saja. Biarlah besok kita dihukum bersama-sama, kamu senang dihukum bukan?” tambahku sambil beranjak pergi ke kamar meninggalkan Willy. Sesaat kemudian aku tersadar aku sudah sangat kasar pada Willy. Ketika aku kembali untuk meminta maaf, ternyata willy sudah tidak ada. Rupanya ia sudah pulang ke rumahnya. Aku menyesal.

Keesokan paginya di sekolah,saat itu aku sudah mempersiapkan mental untuk dihukum Bu Erna. Aku juga mencari keberadaan Willy untuk meminta maaf tetapi ia belum juga muncul. Beberapa saat kemudian Bu Erna masuk ke kelas diikuti Willy dibelakangnya. Rupanya Willy terlambat datang ke sekolah. Setelah berdoa, kegiatan pembelajaran pun dimulai. Bu Erna yang mengisi jam pertama di kelasku itu ternyata tidak lupa dengan tugas yang diberikan kepada kami.

“Silahkan tuliskan jawaban dari tugas yang kemarin di papan tulis!”,perintah Bu Erna dengan tegas tetapi tidak ada satupun murid yang maju. “Bu,soalnya terlalu sulit!”teriak salah seorang temanku. “Kalau begitu sanksi akan saya berikan kepada semua siswa.” Begitu terucap kata-kata itu, Willy beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke arah papan tulis, mengambil spidol, lalu menggoreskannya di papan tulis. Entah apa yang akan dia tulis. Kami semua tertegum melihatnya berdiri di depan. Belum pernah selama ini aku melihat Willy menulis di papan tulis. Apalagi yang ia tuliskan itu adalah jawaban dari soal matematika yang menurut kami itu sangat sulit. “Tepat sekali,Willy, itu jawaban yang ibu harapkan.”,ucap Bu Erna. Semua anak bertepuk tangan untuk Willy. Berkat Willy, Bu erna tidak jadi menghukum kami dengan soal yang lebih banyak. Di jam istirahat, aku menghampiri Willy untuk mengucapkan terimakasih sekaligus mengucapkan maaf atas kesalahanku kemarin. “Will, aku…”, “Kamu sudah tidak marah lagi kan?” potong Willy. “Aku sudah belajar semalam suntuk untuk menyelesaikan soal itu supaya kamu tidak marah lagi padaku.” Kemudian aku terdiam. “Em!” jawabku sambil mengangguk senang. “Hari ini kamu aku traktir, ya!”.

Siang ini terasa menyenangkan sekali menghabiskan waktu di sekolah bersama Willy yang kini semakin disukai banyak teman di kelasku. Namun ini menjadi awal keterpurukanku, bukan karena aku merasa iri pada Willy, tetapi pada saat perjalanan pulang ke sekolah, suatu hal yang mengerikan terjadi. Mungkin karena aku terlalu bahagia, aku tertawa di atas boncengan sepeda Willy, dan tanpa sadar tasku tersangkut mobil yang lewat dari samping. Tubuhku terseret dan tiba-tiba aku lupa kejadian yang menimpaku. Ketika aku tersadar aku sudah berada di atas kasur putih dengan infus di tangan kananku. Oh, kenapa tidak di tangan kiriku? Setelah aku periksa, ternyata tangan kiriku sudah tidak ada. Tangan kiriku harus diamputansi karena mengalami kerusakan tulang dan infeksi yang bisa membahayakan tubuhku. Aku tidak mau mengingat kejadian itu lagi. Sejak saat itu aku mengalami depresi berat. Aku tidak mau pergi ke sekolah dan bertemu teman-temanku. Hingga akhirnya aku mau kembali ke sekolah karena Willy yang telah meyakinkanku.

“Sutra, ini aku, Sut.. Sutra!”panggil Willy dari balik jendela kamarku yang tertutup rapat. “Tolong dengarkan aku, aku sangat merasa bersalah padamu, seharusnya yang mengalami kecelakaan itu aku, bukan kamu Sut, kamu anak yang pandai dan mempunyai cita-cita yang tinggi, sedangkan aku hanyalah orang bodoh yang tidak tau apa itu arti kebahagiaan aku lebih pantas mengalami kecelakaan itu daripada kamu,Sut.. tolong kembalilah bersekolah. Apa kamu sudah lupa dengan semua mimpimu yang pernah kau ucapkan padaku, Sut,.”. tak lama kemudian suara itu tidak terdengar lagi. Setelah merenungkan kata-kata Willy sambil menangis tersedu-sedu, aku pun memutuskan untuk kembali bersekolah. Aku tidak akan kehilangan mimpiku untuk menjadi bahagia. Ya, mungkin aku tidak bisa menjadi seorang dokter dengan keadaanku yang seperti ini, tapi aku mungkin masih bisa menjadi lebih baik. Mungkin ini jalan yang dipilihkan Tuhan untuku, maka tentulah ini yang terbaik.

Keesokan paginya aku mengikuti pembelajaran di sekolah seperti biasa. Semua teman-temanku memberi semangat kepadaku. Tapi aku tidak melihat keberadaan Willy. Sepulang sekolah aku mengunjunginya ke rumahnya. Aku terkejut. Ia sedang bersama ayahnya dan tanpa sengaja aku mendengar semua pembicaraan mereka.

“Kenapa hari ini kamu tidak sekolah,Nak?” tanya ayahnya. “Malas Yah,” jawabnya singkat. “Apa kamu lelah? Apa kamu sakit? Makanya jangan terlalu banyak belajar, nanti kamu capek.” ucap ayahnya lagi. “Yah, apakah ayah menginginkan anak ayah satu-satunya ini menjadi anak yang bodoh?”, “Apa maksud dari perkataanmu itu Nak, ayah hanya ingin kamu istirahat dan bersenang-senang. Sejak kecil kamu sudah banyak menderita.”

Tidak tahan mendengar pembicaraan mereka aku pun menerobos masuk ke ruang dimana mereka sedang berbincang. “Maaf mengganggu, tapi saya ingin menyampaikan suatu hal yang penting kepada Bapak,” pintaku. “Willy itu seorang anak yang pandai,Pak. Dia bisa mengerjakan soal yang rumit hanya dengan belajar selama satu malam. Tapi selama ini Willy tidak mau belajar, mengerjakan tugas, dan sering bolos sekolah itu hanya agar Bapak mau memperhatikan Willy. Agar bapak mau menegur Willy dan itulah yang diharapkan seorang anak dari orang tuanya karena itu merupakan wujud keperdulian seorang ayah yang sesungguhnya.” Jelasku sambil menahan air mata. Willy menatapku dalam. Mungkin ia bertanya-tanya bagaimana aku bisa mengetahui perasaannya yang sesungguhnya. Sebenarnya aku sudah tau dari awal. Namun jika aku menanyakannya pada Willy pasti ia tidak mau mengakuinya. Aku sudah cukup lama berteman dengannya. Dan mungkin sekarang adalah saat yang tepat untukku menjelaskannya dihadapan Willy dan ayahnya.

“Benarkah seperti itu,Wil? Jadi selama ini ayah telah salah. Ayah menganggap kamu tidak mampu dan ayah hanya mencoba agar kamu tidak membenci ayah sejak kematian ibumu. Tapi ternyata apa yang ayah lakukan ini justru membuatmu semakin menderita. Maafkan ayahmu ini Will” ucap ayah Willy penuh penyesalan. “ Iya ayah.”jawab Willy dengan mata yang berkaca-kaca.

Sejak kejadian itu, Willy mulai berubah. Sebulan sebelum hari dilaksanakannya UN aku dan Willy selalu belajar bersama. Willy terlalu tertinggal banyak dalam pelajaran sekolah, karena ia tidak pernah mencatat. Akhirnya aku yang meminjaminya buku catatan dan kadang aku meminta Willy untuk mengajariku menyelesaikan soal matematika. Ia ahli sekali dalam bidang itu. Kami saling melengkapi satu sama lain.

Akhir dari cerita ini adalah., oh belum! Kisah kami masih akan terus berlanjut hingga kami dewasa nanti. Mungkinkah kami akan terus saling melengkapi satu sama lain atau tidak, yang terpenting saat ini adalah kami akan terus berjuang untuk menggapai cahaya itu. Penuh semangat dan keyakinan dalam menghadapi setiap jalan terjal bergelombang yang menghadang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun