[caption id="attachment_321769" align="aligncenter" width="552" caption="Foto: Kompas.com"][/caption]
Usai dilantik menjadi Presiden RI pada 20 Oktober 2014, Presiden terpilih Jokowi bertekad akan memprioritaskan kunjungan ke Tanah Papua. Menurut Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto sebagaimana dirilis Kompas.com (29/8/2014), kunjungan Jokowi itu tidak hanya sekadar menunjukkan kepedulian terhadap Papua, tetapi lebih dari itu ingin merintis pengembangan dialog untuk menuntaskan secara bertahap luka-luka politik lama yang masih membekas di hati masyarakat asli Papua.
Ikhwal Dialog damai dimaksud, sudah banyak ulasan saya dalam sejumlah postingan di Kompasiana. Di antaranya terkait tuntutan Ketua Umum Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang juga sebagai Ketua Persatuan Gereja-Gereja di Papua Pdt. Lipiyus Biniluk yang meminta agardialog antara Jakarta dan Papua harus segera dilakukan dengan dimediasi pihak ketiga.
Pendeta yang pada 14 Agustus 2014 lalu mendapat penganugerahan Bintang Jasa Nararya dari Pemerintah dalam rangka HUT ke-69 RI ini mengatakan, dirinya bersama sejumlah Pimpinan Gereja di Tanah Papua telah bertemu langsung dengan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, untuk menyampaikan permintaan dialog itu. Ia meminta Jakarta dan Papua segera duduk bersama mencari solusi permasalahan yang terjadi antara kedua belah pihak dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang dipercaya oleh kedua belah pihak.
Pertemuan dengan Presiden SBY yang dimaksudkan oleh Pdt Biniluk itu merujuk pertemuan tanggal 16 Desember 2011 di Puri Cikeas. Inti pertemuan itu sebagaimana diungkapkan Pendeta Yemima Krey (Ketua Sinode GKI Papua) yang juga ikut serta dalam pertemuan tersebut adalah membahas masalah kekerasan, pelanggaran HAM, dan stigma separatis.
"Presiden membalas pesan kami dengan mengatakan akan mengajak mencari solusi penyelesaian secara menyuruh...Presiden meminta gerakan OPM dihentikan dan operasi militer juga dihentikan, agar terbuka ruang dialog," jelas Yemima.
Jokowi Libatkan 9 Aktor
Agenda prioritas Presiden terpilih Jokowo untuk menuntaskan masalah Papua tentu berangkat dari substansi dialog Presiden SBY dengan tokoh gereja Papua tersebut, serta sejumlah masukan dari berbagai pihak dan tuntutan-tuntutan yang pernah dilontarkan sebelumnya. Saya mengapresiasi tekad mulia ini dengan sebuah harapan agar dialog tersebut bisa mengakhiri keinginan beberapa elemen masyarakat Papua yang terus menyuarakan keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia.
Mungkin baik pula mempertimbangkan saran dari Pastor Neles Tebay, tokoh yang selama ini dikenal intens memperjuangkan Dialog Jakarta-Papua. Peraih penghargaan perdamaian dari The Tji Haksoon Justice & Peace Award pada 13 Maret 2013, di Seoul, Korsel itu pernah mengusulkan agar untuk mewujudkan dialog Jakarta-papua, ada 9 (sembilan) aktor yang perlu dilibatkan. Mereka adalah TNI, Polri, TPN-OPM (Tentara Nasional Papua Barat atau Organisasi Papua Merdeka) Orang papua yang ada di Papua, Paguyuban di Papua, Orang Papua yang berada di luar negeri, Investor, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat.
Memang tidak mudah menyatukan aspirasi semua elemen masyarakat di Papua. Pastor Neles sendiri pernah mengaku kesulitan menyatukan keinginan paguyuban-paguyuban itu dalam satu kepentingan. Mereka benar-benar majemuk. Majemuk bentuknya, majemuk pula kepentingannya. Kemajemukan itulah yang menurut Neles sebagai hambatan untuk berdialog.
Namun sesulit apapun ia, perlu langkah awal untuk memulainya secara sungguh-sungguh. Barangkali Bapak Jokowi dan timnya punya formula sendiri untuk menyejukan tidak saja Papua tetapi juga Pusat yang biasanya ‘gerah’ jika menyinggung wacana dialog. Untunglah Pak Hasto sudah menyadarinya, sebagaimana terkandung dalam isi pernyataannya, bahwa membangun kepercayaan antara pemerintah dengan masyarakat Papua, sangatlah penting. Dengan begitu, persepsi negatif bisa diganti menjadi rasa saling percaya sebagai modal untuk solusi menyeluruh terhadap persoalan Papua. Semoga.