[caption id="attachment_206711" align="aligncenter" width="549" caption="gambar: rri.co.id"][/caption]
Peristiwa sejarah kebangkitan Nasionalisme Bangsa Indonesia yang paling monumental adalah dikumandangkannya Sumpah Pemuda 84 tahun yang lalu dalam Kongres Pemuda II. Pada Kongres yang digelar di Indonesische Clubgebouw di Batavia tanggal 28 Oktober 1928 itu para peserta Kongres berikrar : Bertumpah darah Satu, Berbangsa Satu, Berbahasa Satu : INDONESIA.
Di antara peserta kongres itu terdapat dua pemuda dan seorang pemudi dari Tanah Papua. Mereka adalah Abner Ohee, tokoh adat dari Tobati-Enggros, Waena, Orpa Pallo dan Aitai Karubaba dari Serui. Ketiganya diutus oleh Sultan Tidore karena waktu itu, Tanah Papua masuk dalam kerajaan Kesultanan Tidore, sehingga ketiga perwakilan Papua itu menjadi bagian dari kumpulan Young Ambon. Abner Ohee dan Orpa Pallo kemudian menjadi suami-isteri yang salah seorang anaknya bernama Ramses Ohee pelaku sejarah Pepera 1969. Ramses dikenal sebagai seorang Ondoafi dari Waena, Papua, pelaku sejarah Pepera 1969 yang saat ini menjadi Ketua Barisan Merah Putih.
Fakta sejarah ini membuktikan sejak sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, di dalam dada orang Papua sudah bersemi Nasionalisme ke-Indonesiaan bersama putra-putri Indonesia dari daerah lainnya.
Fakta sejarah kedua, adalah berdirinya sejumlah partai politik di Tanah Papua pasca kemerdekaan Indonesia yang misinya menentang keberadaan penjajah Belanda dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Pelaku sejarahnya adalah generasi kedua setelah Abner Ohee. Mereka adalah Silas Papare, Frans Kaisiepo, Samuel Damianus Kawab, Albert Karubuy, Marthen Indy, Yoseph Djohari, Sugoro Atmoprasojo, Lodewijk, Barent Mandatjan dkk.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mungkin tidak mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat, generasi Frans Kaisiepo dkk adalah alumni Bestuur School yang didirikan Belanda tahun 1944 di Kota NICA (sekarang Jayapura).
Bestuur School adalah lembaga kursus kilat Pamong Praja yang terpaksa didirikan Belanda untuk mengatasi kekurangan petugas pemerintahan Belanda di Tanah Papua, karena sebagian besar mereka telah dikerahkan ke daerah lain untuk membendung invasi Jepang. Lembaga kursus itu diberi nama PAPUA BESTUUR SCHOOL. Lembaga itu mendidik sekitar 400-an pemuda dari berbagai suku dan daerah di Tanah Papua.
Belanda tak menyadari bahwa lembaga itu ternyata menjadi basis lahirnya Nasionalisme Indonesia di kalangan pemuda Papua kala itu. Dari kota NICA, Frans Kaisiepo, Silas Papare dkk dengan mudah mengikuti semua perkembangan situasi politik yang terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Mereka terinsipirasi untuk ikut berjuang membebaskan Tanah Papua dari penjajah Belanda sebagaimana terjadi di Jawa, Sumatera dan lainnya. Secara sembunyi-sembunyi, para peserta kursus itu sering mengadakan rapat untuk menentang Belanda serta merancang masa depan daerahnya.
Mendirikan Partai Politik
Selesai kursus, para peserta pendidikan ditempatkan kembali di kampung halaman masing-masing sebagai tenaga pembantu pamong praja. Silas Papare ditempatkan daerah asalnya di Serui, Frans Kaisiepo di Biak dan Samuel Damianus Kawab ditempatkan di Manokwari.
Para alumni Papua Bestuur School itu di samping tugas pokoknya sebagai petugas pembantu pamong praja, mereka juga aktif berpolitik praktis. Perkembangan politik di daerah Indonesia lainnya pasca Proklamasi Kemerdekaan menginspirasi mereka untuk mendirikan partai politik (Parpol).
Pada tahun 1946, setidaknya ada tiga parpolyang berhasil didirikan di Tanah Papua, kendati wilayah itu berada di bawah pengawasan ketat Belanda. Di Serui, Silas mendirikan PKII(Partai Kemerdekaan Indonesia Irian).Di Biak, Frans Kaisiepo mendirikan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Di Manokwari Kawab mendirikan Partai Irian Dalam Republik Indonesia Serikat (PIDRIS) dan Organisasi Merah Putih. Kawab juga menjadi dewan penasehat Partai KIM di Jayapura. (Bernarda Meteray: Nasionalisme Ganda Orang Papua, Kompas 2012).
Bersama partai politik yang didirikannya (PIM), Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 di Sulawesi Selatan yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua.
Lagerberg (1979) mencatat bahwa PKII telah memperoleh dukungan dari berbagai kalangan di Irian, antara lain dari masyarakat Sorong, Manokwari dan Biak (de Bruijn, 1978).
Mengibarkan Bendera Merah Putih
Tepat tanggal 17 Agustus 1947 Silas Papare dan kelompoknya, antara lain Albert Karubuy, Marthen Indy, Johans Ariks, Lodewijk, Barent Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, Joseph Djohari dan para pendukungnya yang lain dengan penuh keberanian melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putihuntuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Silas memimpin upacara itu. Atas tindakannya itu, Silas dan semua peserta upacara harus membayar mahal dengan meringkuk dalam tahanan polisi Belanda lebih dari tiga bulan.
Hukuman terhadap para aktivis pemuda pro Indonesia itu dicatat oleh Drooglever (2009). Pemuda bernama Kawab (pendiri Organisasi Merah Putih) dan Corinus Krey di Biak ditahan dan dimasukan ke dalam penjara di Hollandia (Jayapura). Selanjutnya mereka dipindahkan ke penjara Digoel bersama tahanan lainnya baik orang asli Papua maupun non Papua, dan baru dibebaskan tahun 1957. (Riwayat Hidup Corinus Krey, 7 Agustus 1990).
Nasionalisme Papua
Tentu tidak mudah bagi Indonesia yang baru merdeka menyatukan semua wilayahnya dalam satu pemerintahan. Salah satunya adalah Tanah Papua yang masih terus dikuasai Belanda. Bibit-bibit nasionalisme yang sudah tumbuh di dada kaum muda Papua pada awal kemerdekaan Indonesia mampu diredam. Belanda dengan taktik devide et impera, secara perlahan mengganti Nasionalisme Indonesia dan menanam Nasionalisme Papua. Bahwa Orang Papua bangsa Melanesia, bukan bangsa Indonesia.
Strategi Belanda memang berhasil. Kendati Pemerintah Indonesia dengan bantuan PBB berhasil mengintegrasikan kembali Papua ke dalam NKRI tanggal 1 Mei 1963, namun Belanda sudah mendapat ‘bonus’ 18 tahun untuk menumbuh-kembangkan nasionalisme Papua ke dalam dada Orang Papua.
Dalam kurun waktu 18 tahun itu, Belanda telah mempersiapkan orang Papua untuk melepaskan diri dari NKRI. Antara lain membentuk partai lokal, memilih dan melantik anggota Parlemen (Nieuw Guinea Raad), dan mendeklarasian kemerdekaan Papua tanggal 1 Desember 1961.
Itulah sebabnya, mengapa hingga kini gerakan-gerakan untuk mempertahankan kemerdekaan tahun 1961 itu masih tetap eksis. Aktivitas kelompok ini antara lain: aksi jalanan menuntut referendum ulang, menolak Otsus, menolak kehadiran UP4B, mengkampanyekan genosida di Papua, dan yang paling fenomenal adalah mendeklarasikan negara federasi Papua Baratpada 19 Oktober 2011 lalu. Sebagian dari mereka bahkan sudah berani melakukan aksi terror seperti merakit bom, meledakan kantor DPR Wamena, melakukan penembakan misterius terhadap warga pendatang, turis asing bahkan aparat kemanan. Sebagian lagi rela meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk mencari suaka politik dari pemerintah asing. Dari sana mereka giat berkampanye mencari dukungan negara lain agar Papua bisa berdiri menjadi negara yang terpisah dari NKRI.
Aksi-aksi itu tidak lantas membuat kita berkesimpulan bahwanasionalisme Indonesa belum terpatri di dada Orang Papua. Hanya sebagian kecil saja yang mau melakukan apa saja untuk menolak semua kebijakan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua, termasuk mengorbankan nyawa dan masa depannya sendiri.
Itu bukan murni kesalahan mereka. Ada banyak faktor yang bertali-temali. Warisan politik penjajah, kesalahan regim pemerintah yang lalu, ambisi berlebihan para pelaku ekonomi untuk mengeruk kekayaan alam Papua dan masih banyak lagi yang lain. Sekarang Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia memperhatikan Papua. Otonomi khusus (Otsus) adalah solusinya. Otsus adal ruh untuk merangkul orang Papua melalui jalur humanis dan kultural.
Mungkin Otsus saja tidak cukup. Perlu keterlibatan semua pihak yang secara tulus mau turun tangan membantu agar orang Papua bisa membangun daerahnya sendiri, sehingga kelompok-kelompok yang belum sejalan tidak lagi sesensitif ini.
Kita berharap, melalui momentum Peringatan Sumpah Pemuda tahun ini, semakin banyak putra-putri Papua yang terpacu untukmenjadi yang terbaik. Terbaik mengembangkan kebudayaannya yang unik, terbaik menjadi pelaku ekonomi agar kekayaan alamnya yang melimpah bisa terolah maksimal, terbaik dalam prestasi pendidikan, terbaik di pentas olahraga, dan terbaik pula di panggung politik.Semoga ***
Bahan bacaan lainnya :
http://bintangpapua.com/headline/28080-ramses-sudahi-tindakan-yang-mencederai-kemerdekaan-
http://zonadamai.wordpress.com/2012/10/30/terungkap-sejarah-aitai-karubaba-ikut-kongres-pemuda-ii/
http://www.carikabar.com/inspirasi/157-tokoh/1182-frans-kaisiepo-nasionalis-dari-timur-indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H