Dokter wanita berusia 60 tahun ini hingga kini masih menemukan perempuan Papua menggunakan metode “tradisional” melahirkan tanpa bantuan.
[caption id="attachment_179008" align="alignleft" width="300" caption="dr. Antie Soeleman, sudah 25 tahun mengabdi di pedalaman Papua. Foto : Kompasiana"]
Atau ketika lahir anak kembar, ibu itu harus menentukan untuk membunuh salah satu dan hanya membawa pulang salah satu dari mereka, karena ada keyakinan bahwa anak kembar adalah dua saudara yang akan tumbuh saling bermusuhan. Untung saja Dr. Anti jarang menemukan kasus lahir kembar di Papua. Di Mamberamo, seorang ibu yang akan melahirkan akan pergi ke sungai, berdiri di atas batuan padat dan memegang sebuah pohon di tepi sungai. Ketika darah mulai menetes buaya menunggu di bawahnya. Saat bayi muncul, sang ibu harus cepat merebut dan berbaring di pinggir sungai untuk memotong tali pusar. “Ibu dan kematian anak sangat tinggi di Papua,” ujar dr. Antie. http://politik.kompasiana.com/2012/01/06/di-papua-masih-ada-ibu-melahirkan-di-pinggir-sungai/
3. Migrasi
Migrasi penduduk secara besar-besaran ke PNG dalam kurun waktu 1970-an akibat konflik politik di Tanah Papua. Ini diyakini sebagai salah satu sebab mengapa pertumbuhan penduduk PNG dua kali lipat lebih tinggi daripada penduduk Papua.
Setelah situasi politik mulai membaik dan terus kondusif hingga saat ini, arus repatriasi penduduk asli Papua yang pernah mengungsi ke PNG di masa lalu tampak sangat signifikan. Ribuan orang (repatrian) telah kembali ke kampung asalnya di Papua. Mulai dari hanya 65 orang hingga 6 ribu orang.Pemerintah Indonesia bersama Pemda-Pemda di wilayah Papua sudah menyiapkan sejumlah tempat pemukiman kembali bagi para repatrian ini, antara lain di Kampung Kwimi, Yabanda, dan beberapa tempat lainnya.
Pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemkab Keerom (Provinsi Papua) mendapat permintaan dari Kepala Suku Senggi di PNG yang mengirim daftar calon repatrian mencapai 6.675 orang. Menurut Asisten I Pemkab Keerom, Drs.Syaharuddin yang juga dibenarkan oleh Anggota DPRD Keerom Isack Yunam, mereka itu dulunya pada zaman Belanda lari ke PNG karena takut ditangkap tentara Belanda. Mereka kemudian lari dan hidup di hutanbelantara di wilayah PNG.Semakin lama jumlah mereka terus meningkat dengan bertambahnya anak-cucu mereka.
http://bintangpapua.com/headline/22861-mereka-warga-papua-yang-lari-ke-hutan
Arus repatriasi ini sudah dimulai sejak tahun 2007, semenjak Gubernur Papua Barnabas Suebu sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia berkunjung ke Port Moresby untuk mengajak Warga Papua yang masih ada di pengusian untuk kembali ke kampung halamannya. Bila mereka mau ke Papua, demikian Janji Suebu, mereka akan dijamin hidupnya.
Peter Parera (76), salah satu repatrian, menuturkan, dia telah tinggal di Papua Niugini selama 34 tahun dan menikah dengan warga setempat. Bersama istri, sembilan anak, dan satu cucu, Peter akan kembali ke Jayapura.
”Saya dulu pergi karena orang-orang memaksa saya untuk ikut pergi ke Papua Niugini. Sekarang saya ingin pulang, ingin menggarap tanah di Jayapura,” kata Peter, yang bekerja di kantor pemerintah Papua Niugini.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri Teguh Wardoyomengatakan, banyak WNI di Papua Niugini yang ingin kembali karena mereka tidak lagi memiliki tanah garapan sewaan di Papua Niugini. Tanah mereka dibeli para pengusaha dan mereka kehilangan tanah yang menghidupi mereka. Banyak pula di antara mereka yang merupakan pelarian politik, yaitu tokoh atau anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau orang-orang yang dikejar-kejar oleh anggota OPM karena tidak mau setuju dengan mereka.
”Pemerintah Papua Niugini beritikad baik membantu repatriasi WNI asal Papua dan Papua Barat. Repatriasi ini juga mengurangi beban pemerintah PNG,” ujar Teguh.
http://regional.kompas.com/read/2009/11/18/05020516/.320.WNI.Mulai.Direpatriasi.
Tetapi para aktivis Papua tampaknya lebih percaya kepada Pemerintah asing daripada kepada Pemerintahnya sendiri. Ini terlihat ketika ada kunjungan Dubes Swiss untuk Indonesia, Heinz Walker-Nederkoom ke Kampung Kwimi beberapa waktu lalu dan berdialog dengan warga eks PNG itu.
Pieter Welip, salah satu repatrian mengkeluhkan kepada Dubes Swiss bahwa apa yang dikatakan oleh Barnabas Suebu sebagai perwakilan dari Pemerintah Indonesia tiga tahun yang lalu di Port Moresby bahwa bila pihaknya kembali ke Papua akan dijamin rumah dengan semua barang tapi kenyataannya tidak ada sama sekali.
“Anak-anak repatrian yang berusia sekolah juga tidak sekolah dengan baik. Kami sudah lapor ke Dinas P dan P,” tambah Pastor John Djonga yang ikut mendamping Dubes Swiss dalam kunjungan itu.
http://tabloidjubi.com/seputar-tanah-papua/18331-dubes-swiss-lebih-mengerti-persoalan-rakyat-papua
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H