[caption id="attachment_153068" align="aligncenter" width="368" caption="Jeirry Sumampow"][/caption]
Masih terkait Surat Terbuka Pimpinan Gereja-Gereja di Papua kepada Presiden SBY tertanggal 16 Desember 2011, yang isinya antara lain menolak UP4B serta merekomendasikan hak rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri (the right for self determination), saya merasa lega ketika menemukan sebuah referensi berita yang memuat pernyataan Pimpinan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang dipublikasikan seminggu setelah Surat Terbuka Pimpinan Gereja-Gereja Papua tersebut diteken.
Berita yang melegakan itu berisikan pernyataan Jeirry Sumampow (Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI) sebagai berikut :
1. Itu hak orang Papua. Tugas PGI hanya sesuai mandat sidang raya PGI untuk memfasilitasi dan mencari solusi persoalan Papua dan itulah yang senantiasa kami lakukan yaitu mendorong solusi terbaik di Papua agar kekerasan dihentikan.
2. PGI mendorong dialog antara Papua dan Jakarta seperti yang terakhir kali dilakukan di kediaman pribadi Presiden SBY, di Cikeas, Bogor, pada 16/12/2011. Dalam pertemuan malam itu, Presiden sambut baik dialog dan dia tegaskan sebetulnya ada kepentingan melakukan dialog dalam proses ke depan yang lebih baik.
3. Dalam pertemuan di Cikeas tersebut berlangsung sangat cair dan ada suasana kekeluargaan, saling simpati dan empati di dalamnya. Ungkapan merdeka yang mungkin di mata publik sangat kontroversial, dalam percakapan malam itu tidak muncul. Pusat dan Gereja Papua saling menghargai dan memahami posisi masing-masing.
4. Sesungguhnya, bahasa "merdeka" yang kerap didengungkan warga Papua cuma bertujuan mencari perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah agar ada perubahan dalam pememenuhan kesejahteraan dan jaminan keamanan rakyat di Papua.
http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=49687#.TwE5DsNO13k.facebook
Pernyataan petinggi PGI itu tidak saya temukan dalam situs resmi PGI http://st291735.sitekno.com/. Namun demikian, cukup beralasan bagi saya untuk menarik sebuah garis tegas antara apa yang ‘sedang dimainkan’ oleh Pimpinan gereja-gereja di Papua dengan kebijakan otoritas Gereja Kristen di tingkat pusat.
Atas penjelasan PGI itu, saya coba untuk menguraikan beberapa prinsip yang terkandung didalamnya :
1. Gereja tidak boleh bermain di wiayah politik praktis. Kalau politik dalam arti gerakan sosial dan moral, semisal perjuangan menegakkan HAM, perlindungan kaum minoritas dll, Gereja justru harus merasa terpanggil untuk mendukungnya. Tetapi kalau politik dalam arti gerakan untuk merebut kekuasaan, itulah yang harus dihindari.
3. Jika Gereja mengambil sikap mendukung hak Orang Papua untuk menentukan nasib sendiri (the right for self determination), bahkan ikut terlibat aktif memperjuangkannya, itu sama saja Gereja memberikan cek kosong kepada umatnya. Karena tak ada yang bisa menjamin, setelah lepas dari NKRI kehidupan orang Papua akan lebih.
4. Gereja memang terpanggil untuk menyuarakan sikap kritis dengan cara-cara yang santun dan demokratis. Namun jika Gereja ikut menyerukan pemisahan Papua dari NKRI, konsekwensinya adalah Gereja akan “head to head” berhadapan dengan Negara yang sudah sepatutnya menjaga kedaulatannya. Ini berarti Gereja harus siap “dimusuhi” Negara.
5. Saya sangat yakin, otoritas Gereja di Pusat tidak akan mau mengambil risiko itu karena orang-orang yang dilayani oleh gereja bukan hanya orang Papua. Apakah hanya demi “ungkapan merdeka” yang masih kontroversial itu, otoritas gereja rela mengorbankan jutaan jemaatnya yang non-Papua…?
Atas pertimbangan-pertimbangan itu, saya kira SIKAP otoritas Gereja di Pusat SUDAH TEPAT…!!!
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H