[caption id="attachment_331870" align="aligncenter" width="490" caption="(Foto: liputan6.com)"][/caption]
Dalam masa pemerintahan Presiden Habibie, Timor-Timor diibaratkan dengan ‘kerikil dalam sepatu’. Hal yang sama bisa saja terjadi pada Papua. Jika tidak ditangani secara sungguh-sungguh, nasib Papua bisa seperti Timor Timur.
Maka hari pertama setelah dilantik, Kabinet Kerja bidang Polhukam menggelar rapat koordinasi. Salah satu agenda penting yang dibahas dalam rakor perdana tersebut adalah masalah pembangunan Papua dan keberadaan gerakan separatisme di wilayah itu. Masalah ini diangkat oleh tiga kementrian sekaligus yang berada di bawah koordinasi Kemenkopolhukam. Kemendagri dan Kemenlu melaporkan soal pembangunan di Papua dan masalah-masalah yang harus diselesaikan, sedangkan Polri dan TNI mengangkat masalah separatis. http://www.merdeka.com/peristiwa/rakor-pertama-polhukam-bahas-pembangunan-papua-separatis.html
Gerakan Separatisme bukan dampak
Mungkin sementara pihak masih beranggapan bahwa gerakan separatisme di Papua adalah dampak dari lambannya roda pembangunan di Papua. Tetapi dengan berjalannya waktu, apa yang diasumsikan sebagai ‘dampak’ tersebut, sebetulnya lebih pas disebut faktor penghambat pembangunan. Karena sejarah membuktikan bahwa separatisme memang sengaja ditanam dan disiram, dan dikembangkan oleh bangsa penjajah dalam strategi klasik mereka, yakni ‘devide et impera’.
Jika benar keberadaan gerakan separatisme tersebut adalah dampak, maka logikanya dengan sentuhan pembangunan yang begitu gencar di berbagai aspek kehidupan, separatisme akan luntur dengan sendirinya. Tetapi faktanya, separatisme di Papua seakan bergerak berbanding lurus dengan gencarnya pembangunan. Artinya, semakin gencar pembangunan dilakukan, semakin gencar pula tuntutan kaum separatis untuk memisahkan diri dari NKRI.
Lihat saja angka penembakan dan penyerangan terhadap aparat keamanan oleh kelompok OPM bersenjata dalam empat tahun terakhir ini, terus meningkat. Demikianpun tuntutan referendum dilakukan dengan berbagai cara dan semakin intens hingga ke dunia internasional. Bahkan dua Perdana Menteri dari negara Vanuatu (Moana Carcasses Kalosil dan penggantinya Joe Natuman) sepanjang tahun ini sudah dua kali menyuarakan tuntutan Papua merdeka tersebut dalam forum Sidang Majelis Umum PBB. Belum lagi lembaga-lembaga lain di tingkat regional yang juga gencar mendukung gerakan Papua merdeka, seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), Kaukus Parlementarian untuk Papua Barat (IPWP), International Human RightsCommission (IHRC) wilayah Asia, dan masih banyak lagi yang lain.
Artinya, gerakan separatisme di Papua tidak lagi semata-mata hanya dilakukan oleh warga Papua yang pemikirannya masih berseberangan, tetapi sudah menjadi agenda bersama yang melibatkan sejumlah kelompok kepentingan di luar negeri. Sehingga penegakan hukum terhadap para pelaku makar di Papua, juga harus dibarengi dengan “menjinakan” para aktor luar negeri.
Fakta-fakta ini teramat penting menjadi catatan Kabinet Kerja Jokowi-JK, khususnya kementrian yang secara langsung berurusan dengan persoalan Papua. Karena jika salah mendiagnosa permasalahan, solusinya pun dipastikan tidak akan menyelesaikan permasalahan dimaksud. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H