Pada masa kanak-kanak perkembangan kognitif mereka meningkat sangat cepat. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut anak mampu menangkap dan mengingat sesuatu yang mereka lihat. Selain itu, anak juga berperan aktif dalam perkembangan kognitifnya sendiri, mereka mencari pengalaman dengan melakukan atau mencoba hal-hal baru pada berbagai kegiatan kesehariannya. Begitu juga pada proses belajar, saat ini seringkali kita jumpai program-program pendidikan anak usia dini (PAUD). Dimana di tempat tersebut anak memulai proses belajar formalnya seperti membaca, menulis, dan menghitung. Pada proses belajar tersebutlah orang tua ataupun pengajar bisa mulai mendeteksi anak-anak yang mengalami gangguan dalam belajar. Terdapat berbagai macam gangguan-gangguan dalam perkembangan kognitif atau dalam proses belajar. Kali ini kita akan berfokus pada kelainan disleksia.
Disleksia merupakan ketidakmampuan belajar khusus neurologis asal. Orang yang mengalami disleksia umumnya ditandai dengan kesulitan keakuratan dan kelancaran dalam mengenali kata-kata tertulis, dan masalah dalam penerimaan ataupun pemahaman ejaan. Disleksia berasal dari bahasa yunani "dys" yang artinya kesulitan dan "lexis" artinya kata-kata, sehingga disleksia dapat di artikan sebagai kesulitan dalam membaca. Faktor utama penyebab disleksia adalah terdapat kelainan pada fungsi otak. Bart Boets, psikolog klinis (Universitas Katolik Leuven, Belgia) menyatakan interkoneksi otak anak disleksia terutama terjadi pada bagian otak yang bernama Broca, yaitu lobus frontal otak yang mengolah pengucapan terjadi pada bagian kortek kiri dan kanan. Karena interkoneksi tersebut maka mengakibatkan kemampuan membaca maupun berbicaranya menjadi buruk. Jika dibiarkan begitu saja makan akan berakibat fatal bagi perkembangan anak.
Selain faktor kelainan otak, disleksia juga bisa disebabkan oleh faktor lainnya, seperti faktor biologis, dalam beberapa penelitian anak yang mengalami disleksia merupakan turunan dari orang tuanya karena faktanya turunan gen dari orang tua memang sulit untuk dicegah, selain itu kelahiran prematur juga bisa menjadi faktor penyebab terjadinya disleksia pada anak. Selanjutnya adalah faktor psikologis, pada faktor ini terjadi karena motivasi anak dalam belajar sangat minim dan mungkin juga terganggu oleh keadaan sekitar. Faktor lainnya adalah faktor lingkungan, hal ini pada umumnya berawal dari pola asuh orang tua yang salah. Kesalahan pada orang tua biasanya adalah selalu memaksakan sehingga anak menjadi tertekan dan justru malah menghambat perkembangan kognitifnya.
Disleksia merupakan suatu kelainan pada otak yang menyebabkan gangguan dalam proses belajar, disleksia ini tidak dapat disembuhkan namun bisa membaik. Sehingga dibutuhkan deteksi sedini mungkin agar penanganan serta pembinaan bisa dilakukan lebih cepat.. Karena ketika umur anak makin dewasa akan berpengaruh pula pada ke optimalan otak serta berpengaruh pula pada tingkat emosi yang dimiliki oleh anak. Mendeteksi disleksia pada anak dapat dilihat dari beberapa karakteristik umum berikut ini seperti, kemampuan anak dalam membaca sangat lambat dibandingkan oleh anak lain seusianya, biasanya anak suka terbalik-balik dan menebak-nebak kata saat membaca, selain itu anak juga tidak mengindahkan tanda baca seperti titik dan koma, bahkan tidak dapat memahami maksud isi teks. Tetapi, karakteristik tersebut tidak bisa dijadikan patokan sebab setiap anak mempunyai karakteristiknya masing-masing.
Jika beberapa karakteristik tersebut terdeteksi pada anak maka sebaiknya langkah awal yang dapat dilakukan adalah membawa anak ke psikolog untuk memastikan klasifikasi disleksia yang dialami oleh anak. Disleksia memiliki beberapa klasifikasi diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, disleksia diseidetis atau disleksia visual merupakan gangguan yang terjadi pada otak belakang yang mengakibatkan kesalahan dalam persepsi visual. Kedua, disleksia verbal atau linguistik yakni gangguan pada auditoris baik membaca ataupun mengartikan, sebagian besar anak yang mengalami disleksia ini ditandai dengan keterlambatan dalam berbicara. Dan yang terakhir adalah disleksia auditoris yaitu gangguan dimana apa yang dilihat oleh anak tidak dapat dinyatakan dalam bunyi bahasa. Namun biasanya orang-orang awam hanya mengetahui disleksia secara umum saja sehingga penanganan yang diberikan kurang tepat dan menyebabkan hasil yang tidak optimal.
Lalu hal-hal apa sajakah yang dapat dilakukan untuk menangani permasalahan disleksia ini? Pendeteksian pada anak dapat dilakukan saat anak mulai memasuki pendidikan formal pertamanya atau sekitar usia 3-4 tahun. Ciri-ciri awal yang biasa terjadi adalah perkembangan kognitifnya tertinggal dari anak-anak lain seusianya. Bila hal tersebut sudah terdeteksi maka diharapkan anak segera dibawa ke psikolog agar dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Ketika anak sudah di diagnosa mengalami disleksia maka peran orang tua sangat penting. Dimana orang tua harus memberikan dukungan penuh kepada anak agar peningkatan perkembangan kognitifnya akan meningkat dengan optimal. Dalam pemilihan pendidikan orang tua juga harus menyesuaikan agar proses belajar sesuai dengan tingkatan kemampuan anak sehingga anak tidak merasa tertinggal dari teman lainnya. Berbagai motivasi juga perlu diberikan kepada anak, seperti memperkenalkan artis, aktor, maupun ilmuan yang sukses walau mengidap disleksia. Hal ini bertujuan agar anak tidak merasa rendah diri akan dirinya dan justru termotivasi sehingga perkembangan kognitif akan meningkat.
Referensi
Filasofa, L., & Miswati, M. (2021). Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini Penyandang Disleksia. Journal of Early Childhood and Character Education, 1(1), 53-72. http://dx.doi.org/10.21580/joecce.v1i1.6615
Hernawati. (2016). Proses pembelajaran anak usia dini berorientasi perkembangan. Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol 16 (2), 110-118. https://doi.org/10.17509/jpp.v16i2.4227
Idris, R. (2009). Mengatasi kesulitan belajar dengan pendekatan psikologi kognitif. Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Vol 12 (2), 152-172. https://doi.org/10.24252/lp.2009v12n2a3