Batik, siapa yang tidak mengenalnya sebagai warisan budaya yang secara turun temurun diberikan nenek moyang kita. Dalam hal ini, saya mengetahui batik dari ibu saya uyang menghadiahkan berbagai kain batik saat saya melahirkan anak pertama, dan tentu saja dari pelajaran disekolah tentang budaya bangsa Indonesia. Minimal, para remaja tahu batik itu apa, walaupun tidak mengenl secara rinci nama-nama motif yang ada. Jangankan para remaja, saya yang sudah punya dua anak ini pun tak mengenal banyak nama-nama motif batik yang ada.
Oleh karena itu, ketika ada kesempatan mengikuti workshop tentang batik, saya pun segera mendaftarkan diri untuk ikut serta. Apalagi temanya tentang Batik Tangerang Selatan (Tangsel) dimana saya pun berdomisili di Tangsel. Saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk memperluas pengetahuan saya tentang kain tradisional khas daerah yang ada di Indonesia. Sebagai ibu rumah tangga yang akan mentransfer ilmu ke anak-anak, saya tentu harus tetap upgradedong tentang berbagai hal.
Batik Khas Tangerang Selatan Sebagai Icon Kota Yang Memperhatikan Kearifan Lokal
Workshop dengan tema “Saatnya Batik Etnik Tangsel Memegang Kendali Menuju Go Internasional" ini bertempat di Gallery Sekar Purnama, Jalan Camat Pondok Aren nomor 6-8, Tangerang selatan. Workshop ini merupakan kerjasama Kompasiana dan Bank Danamon. Dimulai jam 9 pagi, acara ini dibuka dengan doa oleh Ketua Ketapels, Bapak Rifki Ferdiana Eh, ada yang belum tahu tentang Ketapels? Sekalian aja deh ya saya beritahu.
Ketapels itu adalah komunitas penulis Kompasiana yang berdomisili di Tangerang Selatan. Nama KETAPELS mengambil dari beberapa huruf dari “KompasianEr TAngselP(E)LuS”. Dibalik nama Ketapels, ada filosofi tentang kesederhanaan, kreativitas, kesederhanaan, murah (kegiatannya diusahakan tidak berbiaya), terarah, dan melesat. Aktivitas kegiatan KETAPELS berada di sekitar pengangkatan isu-isu regional daerah melalui blog Kompasiana, berbagi edukasi dalam kepenulisan dan blogging, menemukan dan melejitkan inspirator-inspirator daerah serta merekatkan ikatan persaudaraan sesama anggota.
Narasumber pertama adalah Dra. Nelty Fariza Kusmilianti yang merupakan pengrajin dan pengusaha batik khas Tangerang Selatan. Terus terang, saya baru mendengar tentang batik khas Tangsel ini. Padahal saya sudah berdomisili di Tangsel selama enam tahun lebih. Duuh, kemana saja sih saya. Memang, menurut Bu Nelty, dengan adanya workshop ini seluruh peserta diharapkan dapat mengerti, menghargai dan melestarikan batik sebagai warisan budaya leluhur.
Peserta workshop juga diharapkan dapat membedakan mana batik dan mana tekstile yang bermotif batik. Beda loh, antara batik dan tekstile bermotif batik. Batik itu biasanya dibuat dengan tangan (handmade) sehingga membutuhkan kesabaran, konsentrasi, kelihaian tangan, kreativitas, dan penuh rasa cinta. Tidak heran, kain batik itu harganya lebih mahal karena proses membuatnya itu tidak selalu mudah. Sedangkan tekstile bermotif batik biasanya harganya murah karena dibuat massal menggunakan mesin yang bisa bekerja lebih cepat. Ehm, contohnya nih sekarang banyak berseliweran tekstil bermotif batik yang harganya murah asal negeri Cina.
Batik selama ini dikenal sebagai hal yang berbau tradisional. Seperti yang dikatakan sebelumnya, batik mengiringi ritual tertentu dalam budaya Bangsa Indonesia. Kebiasaan anak muda sekarang hanya mengenal batik tanpa mengenal nama-nama motifnya. Oleh karena itu, menurut narasumber berikutnya yaitu fashion blogger Mbak Leonita dari www.leonisecret.com, padu padan batik diperlukan agar semakin banyak orang yang tertarik menggunakan batik. Misalnya batik dijadikan aksen pada fashion anak muda, sehingga secara tidak langsung mereka mengenal motif batik tersebut.
Motif batik sendiri terdiri dari motif klasik atau tradisional, motif bebas sesuai ekspresi sendiri, dan motif kontemporer. Pola-pola pembuatan batik pun beragam, ada yang berbentuk diagonal, horizontal, dan vertical. Desain batik yang indah merupakan ekspresi jiwa sang desainernya yang memiliki nilai seni.