“Tinggalnya di mana bu?”“Bintaro.”“Wah itu kawasan elit ya”
“Oh ya? Tapi rumah saya udah kebanjiran beberapa kali, Pak.”
Itulah sepenggal percakapan saya dengan abang tukang ojek online beberapa waktu lalu, saat saya hendak menghadiri gathering acara bloger. Ya, mungkin bagi sebagian orang beranggapan kalau kawasan Bintaro termasuk elit. Banyak rumah mewah, pusat belanja dan sekolah mahal berdiri. Tapi yang saya rasakan, ‘kemewahan’ itu tak merata. Masih ada infrastruktur yang berhubungan dengan masyarakat umum yang belum baik fasilitasnya.
Saya seringkali harus menghindari mobil-mobil di jalanan, karena saat keluar komplek perumahan tidak ada trotoar untuk saya berjalan kaki. Saya harus memegang erat-erat anak saya agar tidak tertabrak oleh mobil, padahal saya merasa udah minggir banget. Saya merasa tidak aman sebagai pejalan kaki.
Komplek rumah pun sudah beberapa kali banjir karena tanggul pembatas area komplek dan sungai jebol. Di antara obrolan dengan bapak tukang ojek online itu, terselip prasangka kalau berbagai pembangunan di daerah ini tidak ‘ramah alam’ sehingga di beberapa kawasan terjadi banjir. Mudah-mudahan sih bukan itu penyebabnya, karena penyebab banjir bisa jadi banyak hal.
Baru-baru ini sering kita mendengar wacana pemerintah dan beberapa kementerian, salah satunya Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas tentang penggunakan dana haji untuk membiayai berbagai infrastruktur di tanah air. Saya awalnya tidak terlalu mengerti kenapa dana haji bisa digunakan untuk membiayai infrastruktur. Dana haji ya untuk haji. Dalam sebuah obrolan di twitter dengan teman-teman blogger pun, ada masyarakat yang protes dengan rencana pemerintah ini. Lah, sudah susah-susah mengumpulkan dana haji kok dipakai untuk membiayai keperluan lain. Tentu saja masyarakat akan kecewa dan berburuk sangka pada pemerintah.
Jadi sebenarnya dana haji kita yang ada di bank tidak ke mana-mana ya teman. Tetap ada, tapi ‘dipinjam’ dulu untuk membiayai infrastruktur. Kuota haji sekarang dibatasi, jadi dana menumpuk di bank. Daripada dana sebanyak triliunan itu ‘ngendon’ saja di bank, lebih baik digunakan untuk membiayai sektor yang riil. Nanti yang akan menikmatinya pun jemaah haji juga, begitu kira-kira.
Penggunaan dana haji untuk membiayai proyek infrastruktur juga sudah sesuai dengan Pasal 57 UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaran Haji dan Umroh menyebutkan. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa dalam pengembangan Dana Abadi Umat (DAU) harus melingkupi usaha produktif dan investasi yang sesuai dengan syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Negara tetangga kita, Malaysia, ternyata sudah lebih dulu menerapkan hal ini yaitu menggunakan dana haji untuk pembiayaan proyek infrastruktur dan proyek lainnya yang menguntungkan. Dengan dibangunnaya infrastruktur, akan banyak aktivitas ekonomi rakyat bergeliat. Mulai dari pemasok pasir, batu, aspal, sampai warteg-warteg di sepanjang proyek. Manfaat yang didapat akan terasa karena lebih memudahkan dan menghubungkan daerah yang satu dengan yang lain. Yang pasti, saya pun merindukan trotoar yang nyaman agar bisa menikmati jalan kaki amam dengan anak saya.
Menurut teman-teman gimana, setujukah jika dana haji yang begitu besar itu dipakai untuk membiayai insfrastruktur di tanah air?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H