Mohon tunggu...
kania ditarora
kania ditarora Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pengajar di madrasah swasta

Menulis adalah sebuah implementasi mencintai diri sendiri, sesama, dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Karena Papa Aku Terhina

4 Juli 2024   19:26 Diperbarui: 4 Juli 2024   19:27 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:nitiranto ranto.pinterest


Karena Papa Aku Terhina (Part 3)

Sejak pertengkaran dengan Mbak Lastri, aku tidak percaya lagi dengan semua ceritanya. Setelah kutanya abang Budi tanpa sepengetahuannya, aku jadi tahu bahwa tidak semua uang pembiayaan yang digembar-gemborkan berasal darinya. Pembiayaan yang ia sebut-sebut. Merupakan urunan keluarga besar nenek. Pun juga dengan biaya hidup papa mama, gaji abang Budi sebagai anggota TNI lebih dari cukup membiayayai hidup papa mama. Belum ditambah uang hasil jerih payahku dan uang bulanan dari suadaraku lainnya, itu sudah sangat mencukupi.

Mbak Lastri memang berasal dari keluarga terpandang. Rata-rata sanak familinya orang kaya raya. Aset kekayaannya bertebaran di banyak tempat. Barangkali status sosial yang prestise membuatnya begitu berpengaruh di keluarga kami. Bagaimana tidak. Setiap ada musyawarah keluarga, keputusan akhir berada di tangannya. Peran abang Budi yang semestinya aku harapkan sebagai penengah tak ubahnya seperti asistennya mbak Lastri. Ia manut saja apa kemauan mbak Las.

Efek dari semua ini, hubungan dengan abang dan mbak-mbakku  jadi hambar. Tak ada lagi kehangatan dalam keluarga kami. Mbak Lastri yang terlalu mendominasi beberapa tahun belakangan ini jadi tanda tanya besarku. Sebab sebelumnya, awal-awal menikah dengan abang Budiku, mbak Lastri bersikap wajar saja layaknya istri secara umum. Bahkan dalam penampilan jarang-jarang ia pakai jeans. Berbeda dengan sekarang, ia selalu tampil fashionable lebih  mirip bigbos daripada istri seorang prajurit.

Pertengkaranku dengan Mbak Las rupanya juga berbuntut pada jarangnya abang Budi menjenguk papa mama. Entah mengapa. Padahal seminggu sekali abang Budi beserta keponakanku selalu berakhir pekan di rumah papa mama. Namun sekarang ia jarang berkunjung. Kalau pun ke rumah papa mama, cuma sebentar. Tak pernah menginap seperti dulu. Kudengar abang Budi, sebentar-bentar ditelepon mbak Lastri.

Mengingat semua orang di rumah menimpakan kesalahan padaku, satu-satunya tempat berbagi di rumah bibi Hanum. Aku sering menangis menumpahkan beban pikiran selama ini. Dengan bijak bibi Hanum kerap menasihatiku. "Sabar Nak, Tuhan tak menguji hambanya melainkan sesuai kesanggupannya, jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu, setelah hujan selalu ada pelangi yang membuat kita senang memandangnya, jika ujian umpama hujan, maka pelangi umpama kebahagiaan." Nasihat beliau sambil mengelus-elus pundakku.

 
Kuceritakan juga masalahku sama kak Ardi untuk kesekian kalinya. "Sebenarnya, beberapa bulan ini aku sudah berembuk dengan mamaku. Kami ingin membantumu Rah " Kak ardi mendesah perlahan. Seperti ada sesuatu yang berat untuk diucapkan.
"Maksud kak Ardi?" suaraku menggantung.
"Nanti dah mamaku, yang jelasin." Terang kak Ardi tanpa menatapku.

Seperti biasa, ketika pekerjaan rumah telah kubereskan, aku punya waktu mengistirahatkan kepala. Mulai dari menjahit, mendesain  assesoris, menyiram bunga, membersihkan kandang burung, memandikan Vika, sampai memastikan makan siang dan obat mama, adalah rutinitas yang kulakukan sebelum ke rumah bibi Hanum.

"Nak Rahmi, jauh-jauh hari bibi dan Ardi telah memikirkan masalah yang menerpamu." Bibi Hanum menghentikan kalimatnya. "Bibi ingin membantumu. Kamu tau kan, Ardi, tak menikah lagi sejak kematian istrinya 4 tahun lalu. Meski banyak yang sudah nganjurin untuk nikah lagi, ia bilang; mau bahagiain bibi lebih dulu." Bibi Hanum menghela napas perlahan.
"Maksud bibi? Aku menyela tak sabaran.
"Ardi mau nikah denganmu Nak, demi menutup aib status jandamu yang sudah kadung negatif di tengah masyarakat kita, yang lebih utama tentunya ingin membantu menafkahi Vika dan membahagiakanmu." Jelas bibi Hanum terbata-bata.
"Jangan dijawab sekarang, istikharahkan, jika hatimu mantap, utarakan keinginan kami sama papa mamamu, secepatnya kami akan melamarmu"

Bersambung guys...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun