Papa Aku Terhina (Part 1)
Karena"Dandan yang cantik Rah, calon suamimu beserta keluarga sebentar lagi  tiba. Kamu harus tampil serapi mungkin. Jangan bikin malu keluarga. Calon suamimu ini paket komplit. Selain baik, ia juga tajir. Percuma jauh-jauh hari aku fasilitasi kalau kamu gak dandan maksimal. Pokoknya kamu akan bahagia jadi istrinya. Gak usah mikirin macem-macem"  Mbak Lastri mengingatkan panjang lebar.
'praaak". Bunyi piring pecah buyarkan lamunanku tentang proses lamaran dua tahun lalu. Segera kuberlari ke sumber suara. Aku terkesiap melihat anak semata wayangku. Tangannya gemetar. "kamu gak apa-apa sayang?" Vika menggeleng. Segera kurengkuh ia dalam pelukanku. Menggendongnya. Mengajaknya ke rumah bibi Hanum. Rumahnya yang hanya selemparan batu dari rumah orangtua, membuatku sering menitip Vika pada beliau ketika order menjahitku padat. Beliau seperti keluarga bagiku. Sejak kecil aku dekat dengan kak Ardi anak lelakinya. Aku terbiasa bermain lama di rumah bibi Hanum.
Apalagi sejak mama sakit-sakitan, mau tidak mau aku harus titip Vika ke bibi Hanum. Selain  biar order menjahit terselesaikan, aku bisa maksimal merawat mama. Memperhatikan keperluan sehari-hari beliau. Dari makan minum dan keperluan MCK, nyaris tak bisa beliau lakukan sendiri. Sedangkan papa tak bisa diharapkan sama sekali. Tiap hari kerjanya marah-marah. Dari hal sepele semisal aku lupa membersihkan kandang burung, marahnya bisa berjam-jam. Sejak mama sakit, papa memang seperti orang kehilangan semangat hidup. Berimbas pada usaha onderdil yang kembang kempis.
Kejadian yang menimpa kedua orangtuaku ini bukanlah sepenuhnya salahku. Sebagai bentuk baktiku aku tidak menolak pernikahanku agar disegerakan. Meski hati kecilku berontak, ingin mengenal dulu calon suamiku dan keluarganya secara mendalam.  Bagiku menikah bukan seberapa kaya pasangan. Harta bukan segala-galanya dalam proses pernikahan. Bagiku  agama dan akhlak adalah segala-galanya. Namun karena dorongan kuat dari orangtuaku, khususnya Mbak Lastri, iparku yang terlihat paling antusias, maka aku pun mengiyakan pernikahanku dengan Mas Arya.
Apa lacur, pada tahun kedua, pernikahanku hancur. Aku menggugat cerai suamiku. Tidak tahan lagi dengan mama mertuaku yang terlalu jauh mencampuri urusan rumah tanggaku dengan Mas Arya. Selain itu mama mertuaku kerap kali menghinaku. Mengatakan tidak-tidak tentangku. Bicara lain di depan lain di belakang.
"hei Rahmi, kamu itu keras kepala, dasar anak kere susah diatur." Bentak mama mertuaku suatu waktu. Ucapan-ucapan kasarnya hingga detik ini masih terngiang-terngiang di telingaku.
Gegara perceraianku mama jadi syok. Papa, Abang dan mbak-mbakku, bahkan Mbak Lastri menudingku sebagai biang keladi sakitnya mama. Terutama Mbak Lastri, ia paling keras mengkambinghitamkan-ku. Mereka yang dulu antusias antusias mendorongku menyegerakan pernikahan, tak ada satu pun yang mendukungku ketika terjatuh.
Bersambung.... (jangan lupa komen guyss)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H