Kawasan itu jadi saksi bisu
Melayu yang berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah tumpah darah
Hampir empat abad setia membersamai zaman
Turun temurun membagi kisah
  suka duka di antara tarik ulur kepentingan
bergabung dengan nkri ataukah berdikari
  turut membangun negeri yang saat itu
  baru, buru-buru, berburu integrasi
  biar kedaulatan ibu pertiwi lebih berarti
Saat semua silau oleh gemerlap investasi
Hatta semua mendaku memiliki itu nusa
Tetiba ada yang pura-pura paling tahu
"Itu wilayah tak berpenghuni,"kata orang yang hanya ongkang-ongkang kaki di kursi berdasi
Pengikutnya juga ikut ribut-ribut menggembosi, berteriak;
tembak...
seketika air mata menyeruak
hati nurani koyak
menatap senjata diadu jelata
tak berdaya diamuk dan dicamuk kuasa
Bocah sebelasan tahun histeris
mengira kiamat itu lahir prematur
bapak-bapak babak belur ketika tak sudi mundur
"Itu milik kami, pak, warisan leluhur"
"tuan penolong, jangan bengong dong, lindungi kami dong, kami jangan diusir dong"
"Hah, masa bodoh!"
Dentang dari tuan datang
abai pada undang-undang
pasal-pasal sesal dipreteli
"tanggal sekian, itu Rempang wajib lengang,"perintahnya jemawa
Sepertinya mereka lebih mengasihi investasi
daripada welas asih pada anak negeri
Kini...
Rempang meradang
terluka, terlupa kasih sayangnya
sembari mencari tahu siapa dalangnya
atas kecamuk pewayangan Rempang
Lombok Tengah, 220923
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H