Juli kian purna
sebentar lagi ambyar
puing-puing elegi terserak
Menyisakan puisi
bergumam redam
Pucat pasi
nyalang menatap malang
Ngeri negeri
Ibu pertiwi meringis jelang pesta
menatap anaknya mulai pandai bersilat lidah
Hingga ludah dimakan modus
tulusnya disembunyikan di sela-sela peci
Sabang hingga Merauke
Miangas, pula pulau rote
Wong cilik bingung tersebab dirundung
Tak tahu memilih siapa untuk siapa
Sebab terlalu banyak bijaksana
terbuang sia-sia
Apes...
Banyak yang tak peduli
Memilih makan hoaks
Daripada menanak pena
Dari tungku-tungku kebenaran
Dihidangkan dengan hikmah kebijaksanaan
Bukan mencari-cari pembenaran
Sila..
Bertafakur jenak tiga tahun lalu
akhir Juli mendung bergelayut kabung
Pandemi sedang di puncak ganas
Pun kita kehilangan hujan bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damono
Di penghujung Juli juga kita kehilangan nama dan maknanya Ajip Rosidi
Keduanya memang telah berabadi
Menanti, berjumpa Tuhan
Namun penanya mengajarkan kita tentang bagaimana
menggores lestari
pada suhuf literasi
Juga tentang cara merangkai bunga
kehidupan kita dan negeri ini agar harum mewangi
Sapardi pernah berkata
"Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. Tapi, yang fana adalah waktu, bukan? tanyamu. Kita abadi"
Lombok Tengah, 300723
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H