Mohon tunggu...
kania ditarora
kania ditarora Mohon Tunggu... Tenaga Pengajar di madrasah swasta

Menulis adalah sebuah implementasi mencintai diri sendiri, sesama, dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudah Efektifkah Rapor Menjadi Tolok Ukur Penilaian?

26 Juni 2023   20:50 Diperbarui: 26 Juni 2023   21:03 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dua pekan terakhir ini media sosial dibanjiri postingan pembagian rapor anak sekolah. Anak-anak dan orang tua bereuforia atas keberhasilan buah hati. Mengekspose prestasi yang diraih beserta reward/hadiah dari pihak sekolah.

Fenomena tersebut tidaklah salah.  Hanya saja patut diluruskan bahwa nilai-nilai dalam rapor hanya mencerminkan satu aspek saja.  Belum holistik merepresentasikan kompetensi siswa. Sehingga kita perlu meninjau ulang agar kita bisa berlaku adil.

Jika menggunakan term "adil" menurut Islam yang bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya, maka sistem penilaian pendidikan telah zalim. Lawan "adil" adalah "zalim". Kezaliman jadi sesuatu yang kaprah karena dianggap sudah mapan sehingga publik menyebut kekeliruan yang tak disadari dan berlangsung lama sebagai  'salah kaprah'.

Harus diakui sistem pendidikan selama ini tanpa kita sadari diskriminatif. Hanya menilai kompetensi dari satu sudut pandang saja yaitu ranah pengetahuan/kognitif saja. Mirisnya pendidik banyak terbawa arus tak berani melawan arus utama dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Padahal sebagai pendidik galibnya sudah tahu bahwa kompetensi pengetahuan bukanlah segalanya.  Psikolog Havard Howard Garner menyatakan kecerdasan koginitif hanya 20% menentukan kesuksesan hidup seseorang. Lebih dominan kecerdasan lainnya yang disebut sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelegence).

Sebelum Garner,  kecerdasan majemuk juga dikemukakan oleh Bloom, yang kita kenal sebagai taksonomi Bloom. Beragam kecerdasan yang idealnya harus diperlakukan sama dalam menstimulasinya melalui pendidikan.

Meski demikian dalam praktiknya, harus diakui kecerdasan lain semisal kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan kinestetik maupun lainnya belumlah mendapat porsi setara dengan kecerdasan intelektual (IQ).

Akibatnya, mindset kita pun dicekoki dengan anggapan bahwa angka-angka dirapor adalah representasi kompetensi anak. Mirisnya sudah berlangsung puluhan tahun dan dianggap mapan.

Kalau pun pada kurikulum 2013 telah mencantumkan nilai sikap sosial, spiritual, dan keterampilan namun nilai atau deskripsi yang muncul tidak dianggap penting bahkan cenderung diabaikan. Ketika dibagikan rapor dipastikan orang tua akan fokus pada nilai berupa angka-angka yang notabenenya nilai pengetahuan saja.

Lebih miris lagi sebagian pendidik mengamini keliru pikir tersebut. Sebut saja contohnya pada momen bagi rapor begini. Reward/penghargaan berupa pemberian hadiah hanya berorientasi pada nilai pengetahuan semata. Penentuannya dikalkulasi dari angka-angka pengetahuan yang tertuang di rapor.

Padahal kompetensi lain seperti tersebut di atas perlu juga diberi reward setara dengan nilai pengetahuan. Sebut saja sikap sosial anak didik. Bagaimana mereka berdisiplin. Bagaimana mereka menghargai tugas. Bagaimana mereka proaktif dalam ekstrakurikuler.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun