Ini bukan tentang lagu Cendol Dawet Pamer Bojo yang sempat hits beberapa waktu lalu. Tapi tentang minuman  yang bernama cendol dan dawet.Â
Bagi warga Bandung atau mereka yang sering berkunjung ke Kota Bandung pasti akrab dengan Cendol Elizabeth. Konon katanya yang mpunya cerita, dinamakan Cendol Elizabeth karena penjualnya pertama kali berjualan di samping toko tas Elizabeth, sebuah toko tas paling terkenal di Kota Bandung. Pemilik toko tas Elizabeth kemudian mengijinkan gerobak cendol itu diberi nama dengan nama tokonya. Jadilah Cendol itu memiliki nama yang sama dengan toko tas tersebut. Kini Cendol Elizabeth telah berkembang semakin besar dengan beberapa outlet yang cukup keren.
Cendol Elizabeth adalah cendol jenis hijau. Dengan semakin terkenalnya Cendol Elizabeth, maka kemudian cendol elizabeth yang semula merk dagang berkembang menjadi nama lain dari cendol hijau. Setiap cendol hijau kini disebut cendol elizabeth, siapapun yang membuatnya, siapapun yang menjualnya.
Fenomena cendol elizabeth ini mirip dengan Es Oyen. Di Bandung ada warung Es Campur Mang Oyen yang sangat terkenal. Kini setiap es campur yang mirip dengan es campur mang oyen disebut es oyen. Es oyen kini bisa ditemui di beberapa kota di luar Jawa Barat.
Sulit untuk bisa mengatakan dari sisi mana Es Campur Mang Oyen bisa menjadi seterkenal itu. Bisa dari rasanya yang enak atau mungkin dari komposisi bahannya. Sebagaimana cendol elizabeth yang sebenarnya sulit mengatakan perbedaan rasa dengan cendol-cendol dari pedagang lain.
Kalau saya mengatakan seperti itu, bukan bermaksud mengecilkan eksistensi dari keduanya (cendol elizabeth dan es campur mang oyen). Saya ingin mrngatakan, selain faktor rejeki, sangat mungkin kerja keraslah yang menjadi faktor pembeda antara cendol-cendol yang lain dengan cendol elizabeth, juga antara es campur yang lain dengan es campur mang oyen.
Jaman saya kanak-kanak, di kawasan Bandung bukan cendol hijau (jenis cendol elizabeth) yang banyak dijual, tapi jenis cendol putih (agak abu-abu). Selain warna yang berbeda, cendol putih ini ukuran butiran cendolnya lebih kecil sekitar sepertiga dari butiran cendol hijau. Cendol jenis ini sangat mirip dengan dawet ayu khas Banjarnegara.
Cendol putih dijual berkeliling dengan cara dipikul. Tempat cendolnya sendiri berupa gentong (empayan) dari tanah liat. Saya sering membelinya di tengah sawah saat menjaga padi yang sudah menguning. Tentu saja tanpa es, karena selain hawa kawasan Bandung yang sejuk, juga karena es batu adalah barang langka pada masa itu.
Kalau dikatakan cendol putih yang ada di Bandung sangat mirip dawet ayu khas Banjarnegara, bisa jadi memang cendol putih itu adaptasi dari dawet ayu. Ini mengingat kata cendol dalam bahasa Sunda bersinonim dengan kata dawet dalam bahasa Jawa. Jadi kalau dari Bandung saya bawa Cendol ke Surabaya, maka ketika sampai di Surabaya cendol itu berubah menjadi dawet. Sebaliknya kalau sepulangnya dari Surabaya saya bawa dawet, maka ketika sampai di Bandung dawet itu berubah jadi cendol.
Meski cendol dan dawet itu dua kata yang bersinonim, sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Pada cendol tidak diberi canpuran bahan lain sebagai pelengkap. Paling-paling diberikan irisan nangka pada kinca (gula merah yang dicairkan) untuk penambah aroma. Sedangkan pada dawet biasa ditambahi tape ketan atau tape singkong.
Dan jangan lupa, di Bandung itu dawet tidak identik dengan cendol. Karena ada yang lain yang bernama dawet. Dawet ini bukan jenis minuman seperti cendol, tapi sejenis makanan yang terbuat dari tepung beras diberi kinca, santan kelapa dan sekoteng. Dawet ini agak mirip dengan bubur sumsum, namun sedikit lebih keras/kenyal. Â Oleh karena itulah seperti di daerah Jawa Tengah atau Jawa Tmur dimana dawet itu termasuk jenis minuman, di Jawa Barat dawet itu sejenis makanan. Dulu hampir di setiap pasar dapat ditemukan penjual dawet. Dawet ini menjadi menu sarapan selain bubur nasi (bubur ayam). Kini dawet yang dikenal di Jawa Barat itu sudah sangat sulit ditemukan. Pelan-pelan hilang tergerus jaman. Â