Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Baper, Mati Kutu, Berhenti Menulis, Gara-gara Baca Kompasiana

10 Juli 2020   17:52 Diperbarui: 10 Juli 2020   17:55 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hati-hati baca artikel kompasiana, jangan baper. Nikmati aja sebagai teman minum kopi, melengkapi pisang goreng dan ubi rebus.

Tapi seringan itukah berselancar di kompasiana ? Ternyata tidak juga. Tidak sesederhana itu. Setidaknya ini berlaku bagi saya dari golongan penulis pemula. Penulis yang belum menuntaskan ilmu “pede” seperti ditulis oleh idola saya I Ketut Suweca “Masih Ada Yang Belum Juga “Pede” Menulis ? Ini Solusinya”.

Pada bagian komentar artikel itu saya antara lain menulis : “Serasa disindir oleh tulisan Pak Ketut”. Ini bukan basa basi, saya betul-betul merasa disindir oleh tulisan itu. Harus diakui dalam hal ini saya memang “baperan”.

Dokpri
Dokpri
Saya harus memberikan permakluman kepada diri saya yang masih tetap 'baper” ketika membaca artikel-artikel kompasiana. Betapa tidak, saya menemukan begitu banyak tulisan-tulisan yang berkualitas dari semua kategori yang ada.

Di kategori humaniora saya melihat tulisan yang berbobot yang sangat menarik dan inspiratif. Banyak analisis mendalam yang diketengahkan untuk sebuah peristiwa aktual.  

Begitu juga di kategori hobi, artikel-artikel traveling begitu menarik untuk dibaca. Petualangan menjelajah Australia, misalnya, ditulis dengan gaya khas Bu Roselina Tjiptadinata, yang senantiasa mengakhiri tulisan dengan pesan humanisme yang sederhana, tidak menggurui. Atau artikel tentang Ternate yang ditulis begitu menarik oleh Tonny Syiariel, “Ternate, Mutiara di Timur Yang Fotogenik”.

Puisi-puisi yang indah dan cerpen yang menarik, bertebaran setiap hari, membagi inspirasi di pagi hari. Memajang bahan renungan kala malam menjelang.

Itulah yang mau tidak mau membuat saya tidak bisa menghindar dari “baper”. Di lubuk hati yang paling dalam saya bersyukur bisa tetap “baper” ketika berselancar di kompasiana. 

Baper yang kemudian menjadi inspirasi. Saya harus bisa berkarya lewat tulisan, seperti mereka telah lakukan dengan tulisan-tulisan yang berbobot. Ini mimpi saya, dan saya yakin pada satu titik nanti saya bisa mencapainya.

Tanggal 04 Juli 2020, saya membaca artikel dari I Ketut Suweca “Kompasianer, Menjadi “Hebat Sendiri”atau “Hebat Bersama””. Sebuah artikel yang terinspirasi dari artikel Felix Tani “Jengkel Pada Admin Kompasiana”. I Ketut Suweca mengutip salah satu paragraf dari artikel Felix Tani sebagai berikut :

Ada satu gejala yang saya rasakan akhir-akhir ini. Kompasiana telah berubah dari “arena sosialisasi” menjadi “arena eksistensi”. Setiap Kompasianer maunya tampil “hebat sendiri” ogah untuk menjadi “hebat bersama” ”.

Dalam artikel itu, I Ketut Suweca menulis sebagai berikut :

 Saya melihat sejumlah Kompasianer yang ngebut menulis. Mereka menulis dan menulis lagi, rajin sekali. Mungkin memiliki target tertentu dalam sebulan, entah berapa judul yang ingin dihasilkannya ”.

Saya dibuatnya mati kutu. Betul-betul mati kutu. Sederet pertanyaan muncul di pikiran saya. Dimanakah posisi saya berada ? Jangan-jangan saya ada di “hebat sendiri” dan ogah “hebat bersama”.  Pertanyaan ini muncul bukan karena saya merasa sudah hebat, tetapi justru sebelum saya menjadi hebat saya harus terlebih dahulu bisa menjawab itu.

Pertanyaan lain, apakah saya termasuk yang dengan penuh semangat menggebu-gebu untuk menulis. Menulis dan menulis lagi, dengan target kuantitatif berapa judul yang dihasilkan dalam sebulan.

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya mati kutu, seolah kehilangan ide untuk menulis. Dengan susah payah berdarah-darah saya selesaikan artikel “Sekolah Favorit, Ambisi Orangtua Atas Nama Masa Depan Anak”. Artikel itu ditulis dalam suasana batin yang diliputi pertanyaan-pertanyaan di atas. Betul-betul susah payah berdarah-darah. Hasilnya sungguh belepotan. Saya dapat komentar dari Yana Haudy sebagai berikut :

Aduh jd , inget uwa saya di Tasik kalo ngomong f pasti jd p, pavorit. Khas urang Sunda ya, Pak 😆“

Sebelum saya edit kemudian, saya menulis favorit dengan pavorit

Komentar yang “menyakitkan” hehehe

Itu adalah artikel ke 100 saya tepat 11 minggu berpetualang di Kompasiana. Dan saya memutuskan untuk “hold” dari petualang saya tepat di artikel ke 100 itu.

Saya butuh waktu sejenak untuk merenung dan mereview jejak petualang saya, mungpung belum terlalu banyak artikel yang saya tulis. Mumpung belum terlanjur menjadi “hebat” hahaha.

Selama masa “hold’ itu hanya ada 2 hal yang saya lakukan. Pertama,  menjelajah mengunjungi sahabat-sahabat Kompasianer lewat artikel-artikelnya. Kedua, membuka kembali artikel-artikel saya yang sudah tayang di Kompasiana.

Menjelajah, mengunjungi artikel-artikel dari sahabat-sahabat kompasiana ternyata asyik juga. Membacanya dengan seksama, mencatat inspirasi yang didapat, memberi rating dan membubuhkan komentar. Hanya itu yang dilakukan. Membaca, membaca dan membaca lagi (bukan menulis, menulis dan menulis lagi hehehe).

Saya baca semua artikel yang hadir di depan mata, tidak peduli ditulis oleh mereka yang sudah menulis ratusan bahkan ribuan tulisan, atau dari mereka yang baru menulis belasan artikel.

Dari situ ada kebiasaan baru yang muncul. Kebiasaan mencatat. Mencatat apapun yang menarik dari artikel yang dibaca. Bisa berupa kalimat-kalimat motivasi, kata-kata indah, pengetahuan baru atau inspirasi.

Dengan aktifitas berkunjung itu, saya juga bisa “berinteraksi” dan “bersilaturahmi” dengan sahabat-sahabat Kompasianer. Sebuah “nilai lebih” dari Kompasiana.

Hasil  membaca dan mencatat dari penjelajahan saya, kemudian menjadi bahan untuk mereview tulisan-tulisan saya. Saya baca kembali satu per satu.

Dalam hal membaca kembali tulisan-tulisan sendiri, saya harus memposisikan diri saya sebagai orang lain. Orang lain yang sudah banyak makan asam garam di dunia penulisan, atau orang lain yang baru belajar menulis. Ini tidak mudah untuk dilakukan. Subjektifitas sebagai “aku” kerap mengganggu. Menghalangi objektifitas dalam menilai.

Oleh karena itulah saya sampai kepada kesimpulan bahwa kualitas karya kita, berbobot atau tidak, bermanfaat atau tidak, sangat ditentukan oleh persepsi dari pembacanya. Kita tidak bisa menilai sendiri kualitas dari karya kita.

Yang bisa dilakukan adalah mengukur sejauh mana karya-karya kita dalam memenuhi kriteria-kriteria dan norma-norma umum yang berlaku dalam sebuah karya tulis. Ketika hal-hal itu, tidak bisa saya penuhi, saya tidak boleh berharap karya saya akan memberikan manfaat bagi pembacanya.

Di luar itu, saya juga harus menyadari bahwa saya tidak merasa nyaman untuk mengulas hal aktual yang menyangkut seseorang secara personal. Saya belum bisa memisahkan antara pandangan objektif dengan human interest dari diri saya.

Demikian pula dengan gagasan menulis sebagai passion sebagaimana ditulis oleh banyak sahabat Kompasianer,  ke depan saya harus memilih apakah akan menjadi penulis generalis ataukah spesialis. Dalam konteks inilah untuk sementara waktu saya lebih memilih untuk menulis tema-tema yang pernah menjadi pengalaman saya pribadi. Sebuah langkah cari aman, hehehe …

Pada titik ini, bertepatan dengan 3 bulan berkompasiana, terlepas dari kualitas tulisan-tulisan saya, saya bersyukur atas pencapaian saya secara kuantitatif. 100 artikel dalam 11 minggu pertama, adalah pencapaian yang luar biasa bagi saya. Saatnya bagi saya untuk mulai berorientasi kepada kualitas. Menghasilkan karya yang memberikan manfaat berupa kebaikan, setidaknya tidak memberikan dampak negatif, bagi pembacanya.


Membaca, mencatat, menulis, bisa menjadi modal saya untuk bisa berkarya lebih baik lagi.
Semoga …..


Salam hangat

< Kang Win, Juli 10, 2020 >

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun