Dalam sebuah kesempatan di bulan Januari tahun ini, Ibu Megawati Soekarnoputri berpidato berapi-api menyemangati “kaum perempuan” untuk mengambil peran yang lebih besar dalam pembangunan di negeri ini.
Beliau meminta kaum perempuan untuk tidak merasa hanya sebagain “konco wingking”. Sebuah frasa dalam bahasa Jawa yang bermakna kodrat perempuan adalah berada di belakang. Tugasnya hanya melahirkan anak, memasak. Tidak boleh bicara dan berperan selain itu.
Saya sangat setuju dengan itu. Meski, pilihan untuk tetap dalam posisi konco wingking adalah pilihan yang tidak bisa disalahkan juga.
Saya tidak mengetahui, sejauh ini adakah sebuah penelitian yang dilakukan, atau setidaknya sebuah survey, untuk mengetahui persepsi kaum perempuan terhadap konco wingking ini.
Konco wingking menjadi frasa yang sangat populer ketika berbicara sosok Ibu Kartini. Ini bisa dimaklumi karena konco wingking inilah yang diyakini telah menginspirasi Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita melalui surat-surat yang ditulisnya kepada sahabatnya seorang perempuan Belanda. Kumpulan surat-surat beliau kemudian dipublikasikan menjadi sebuah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Memperjuangkan emansipasi wanita adalah perjuangan kesetaraan gender.
Di Indonesia, perjuangan kesetaraan gender sudah menjadi kesepakatan yang tidak tertulis dari bangsa Indonesia. Secara political wiil, perjuangan kesetaraan gender, misalnya bisa dilihat dari persyaratan keterwakilan perempuan dalam DCT Pemilu Legislatif. Terobosan paling besar telah dilakukan oleh TNI dan Polri melalui kuota taruna di Akmil, AAU dan AAL serta Akpol. Masih banyak contoh lain tentang implementasi kesetaraan gender di Indonesia.
Sudah cukupkah itu semua? Sudah berhasilkah kita dalam perjuangan kesetaraan gender ini ? Sudahkan “impian” Ibu Kita Kartini terwujud ? Dan sederet pertanyaan lainnya.
Bagi saya, terus terang itu semua menjadi pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab.
Secara empirik kita bisa menyaksikan betapa banyak perempuan hebat menempati posisi-pisisi penting di berbagai bidang. Tidak ada lagi hambatan struktural yang membatasi peran perempuan. Sebuah pencapaian yang sangat membaggakan tentu saja bagi bangsa ini.
Namun, di balik pencapaian yang membaggakan itu, kita pun harus mengakui, dalam hal-hal tertentu kesetaraan gender menjadi sesuatu yang absurd. Upaya menjegal Ibu Megawati Soekarnoputri dalam sebuah kontestasi Presiden/Wakil Presiden melalui isu gender, adalah salah satu contoh bahwa perjuangan kesetaraan gender dapat diluluhlantakan untuk kepentingan politik sesaat.
Bagi saya, perjuangan kesetaraan gender sebagaimana diinspirasi emansipasi wanita a la Ibu Kartini, bukanlah perjuangan untuk menjadikan perempuan “sama” dengan laki-laki, atau pemberian perlakuan yang sama bagi perempuan dan laki-laki.
Bagi saya perjuangan kesetaraan gender adalah perjuangan kaum perempuan untuk menjadi dirinya sendiri.
Dalam konteks persepsi seperti itu, menjadi tidak penting angka-angka statistik, juga kuota-kuota yang disediakan. Bukankah kuota keterwakilan perempuan dalan DCT Pileg, misalnya, implementasinya tidak lebih dari sekedar memenuhi keketentuan?
Perjuangan kesetaraan gender dari kacamata saya, adalah menjadi perempuan hebat yang berhasil menggapai impiannya, apapun itu yang menjadi impiannya. Atau menjadi perempuan hebat yang berhasil menjaga kodratnya sebagai “ibu”. Atau bahkan mungkin menjadi keduanya.
Selamat merayakan Hari Kartini
Tetaplah Semangat Perempuan Indonesia
April 21, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H