Syuting Sinetron ‘Love in Paris’ di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita berakhir dramatis karena muncul isu ia jadi penyebab meninggalnya seorang pasien penderita Leukimia, Ayu Tria Diani (9 tahun). Tidak pelak isu tersebut menarik kritikan dari anggota DPR dan respon langsung Menteri Kesehatan.
Penggunaan ruang Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit untuk syuting memang tidak dilarang. Namun hal itu seyogyanya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merugikan pasien yang haknya jelas-jelas dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Suasana syuting sinetron, apalagi yang kejar tayang, tentu sangat berbeda dengan kondisi rumah sakit. Bila dalam pengambilan adegan sinetron semua kru dituntut untuk kerja ekstra cepat sehingga suasana hiruk pikuk tidak bisa dihindari. Sebaliknya kondisi ruangan ICU rumah sakit membutuhkan ketenangan, dan jauh dari kebisingan untuk membantu proses penyembuhan pasien.
Fungsi utama rumah sakit menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah pelayanan kesehatan, dan ruang ICU tentu saja diperuntukan bagi perawatan pasien yang sudah dalam kondisi stabil setelah keluar dari UGD (Unit Gawat Darurat).
Meskipun tidak ada larangan untuk syuting di rumah sakit dan kementerian Kesehatan pun memperbolehkannya namun hal itu harus bertujuan untuk kegiatan edukasi dan promosi pelayanan kesehatan.
Edukasi atau Komersialisasi
Rumah sakit adalah lembaga pelayanan kesehatan. Dalam pandangan dr. Zainal Abidin, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) upaya untuk mempromosikan pelayanan kesehatan memang baik, tapi hal tersebut tidak boleh mengganggu fungsi utamanya sebagai layanan kesehatan.
Kita seringkali menyaksikan dalam sinetron dokter atau perawat di rumah sakit berperan sebagai orang yang menyelamatkan nyawa pasien yang sakit atau mendapatkan kecelakaan. Peranan inilah yang digambarkan dalam adegan sinetron “Love in Paris” di RSAB Harapan Kita. Adegan tersebut bercerita tentang Reno (Dimas Anggara) yang kena penyakit jantung dan Rafa (Rio Dewanto) yang mendapat kecelakaan, sedang dirawat di rumah sakit. Adegan dua tokoh utama sinetron yang berada di rumah sakit menjadi bagian dari sosialisasi dan edukasi tentang rumah sakit kepada masyarakat. Barangkali manajemen RS Harapan Kita mengaggap skenario dalam sinetron tersebut sesuai dengan fungsi edukasi rumah sakit, sehingga mereka mengeluarkan izin bagi kegiatan tersebut.
Namun, dalam beberapa sinetron atau film lainnya rumah sakit diperlihatkan dari sisi berbeda. Rumah sakit diidentikkan sebagai sarangnya makhluk halus atau tempat terjadinya peristiwa-peristiwa menakutkan. Tentu saja adegan tersebut tidak menggambarkan fungsi utama rumah sakit sebagai pelayan kesehatan. Bahkan adegannya cenderung melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Produksi Siaran (P3-SPS) Komisi Penyiaran Indonesia tentang muatan mistik dan supranatural.
Sisi negatif lainnya adalah komersialisasi rumah sakit yang menguntungkan bagi rumah sakit dan rumah produksi sinetron, namun mengabaikan kepentingan pasien. Penggunaan ruangan ICU di Rumah Sakit harapan Kita untuk kegiatan syuting sinetron tentu tidak dilakukan secara gratis. Sebagaimana telah dimafhumi bahwa dana untuk syuting yang disediakan oleh sebuah Production House bisa mencapai ratusan juta rupiah. Ini tentu menggiurkan bagi pihak manajemen Rumah Sakit sehingga mereka berani memberikan izin bagi penggunaan ruangan dengan timbal balik uang sewa yang besar. Belum lagi papan nama dan plang rumah sakit yang diperlihatkan bisa menjadi promosi gratis bagi rumah sakit.
Di sisi lain, bagi kru sinetron penggunaan lokasi rumah sakit tentu akan memberikan efek yang lebih realistis dibandingkan dengan pengambilan adegan di lokasi buatan. Dengan meminjam ruangan di rumah sakit, mereka sekaligus juga bisa memanfaatkan dokter atau suster sebagai piguran tanpa harus repot-repot mencarinya.
Namun, bagi pasien situasi tersebut tidak memberikan keuntungan sedikit pun. Memang, bisa saja beberapa keluarga pasien mendapatkan kesempatan melihat artis sinetron dari dekat. Namun, yang lebih prioritas tentu saja pelayanan kesehatan dari rumah sakit dan kesembuhan pasien. Dengand emikian lokasi syuting di lembaga kesehatan tersebut justru memberi lebih banyak efek negatif dibandingkan positif. Inilah yang dialami oleh keluarga Ayu Tria Diani. Mereka mengeluh aktivitas syuting yang terlalu hiruk pikuk dan sorot lampu yang menyilaukan yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien yang seharusnya memperoleh hak untuk tenang dalam proses penyembuhannya.
Keluhan keluarga Dianai ini bisa saja mewakili keluhan keluarga pasien lainnya yang merasakan gangguan suasana syuting. Respon kementerian kesehatan dengan memberikan sanksi teguran kepada RSAB Harapan Kita sangat tepat karena sekalipun tidak ada kesalahan prosedur dalam penanganan, namun orientasi komersilisasi di luar fungsi rumah sakit harus dieliminir. kementerian kesehatan sedang menggodok larangan syuting di rumah sakit. Kita tunggu seperti apa bentuk aturan larangan tersebut agar kejadian yang dialami Ayu tidak lagi terulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H