Hasil pemilihan pimpinan MPR yang dimenangkan oleh Koalisi Merah Putih minus PPP kembali menjadi pukulan telak bagi partai pendukung Jokowi-JK, PDIP, PKB, Hanura, dan Nasdem tidak berhasil menggaet suara anggota DPD untuk mendukung paket yang diajukannya menjadi pimpinan MPR. Ini menjadi kekalahan kelima (5:0) Koalisi Indonesia Hebat di parlemen. Akibat kekalahannya ini hembusan isu penjegalan pemerintahan Jokowi-JK semakin santer disebarkan, khususnya oleh media Projokowi.
Beberapa media yang sejak pemilihan presiden lalu sudah partisan mendukung Jokowi-JK terus menghembuskan isu-isu negatif pada KMP. Metro TV misalnya, paling getol melakukan agenda setting menyebarkan isu penjegalan kebijakan pemerintah baru bahkan impeachment kepada Jokowi-JK. Pengamat seperti Ikrar Nusa Bhakti didapuk untuk menjadi pengamat politik yang ucapannya terus dikutip mendiskreditkan partai-partai penyeimbang pemerintah tersebut. Ia bahkan menyebut parlemen Orde Baru lebih baik daripada parlemen masa kini yang cenderung tidak kompromi. Ikrar lupa bahwa PPP dan PDI diikutsertakan oleh Golkar dalam parlemen masa Orde Baru hanya sekedar pencitraan Soeharto, keputusan parlemen tetap di tangan ABG, (ABRI, Birokrasi dan Golkar) yang membackup kebijakan Orde Baru saat itu.
Upaya media Projokowi ini adalah  bentuk xenophobia, yaitu perasaan takut yang tidak memiliki dasar. Ketakutan itu sengaja dibesar-besarkan untuk mencari perhatian khalayak. Media massa, khususnya televisi memiliki pengaruh yang kuat pada pemikiran masyarakat dalam menyebarkan gagasan dan idenya. Bila gagasan yang disebarkan media penuh kebohongan bahkan cenderung penuh ketakukan, maka masyarakat akan berada dalam proses pembodohan.
Beberapa media Projokowi juga senang membuat name-labeling, (pemberian nama buruk) dalam pemberitaannya. Misalnya beritasatu.com menyebutkan "Pengkhianat" bagi para pendukung paket B dalam pemilihan pimpinan MPR tadi malam. Redaksi beritasatu membuat definisi pengkhianat dan pahlawan dengan sesuka hati. redaksi justru melacurkan dirinya pada kepentingan politik. Pengkhianat tetap berkonotasi negatif, dan tidak sepatutnya digunakan oleh media yang beradab dalam menyebutkan anggota DPR/MPR yang terhormat.
Isu penjegalan kepada Jokowi-JK juga dimuat dalam pemberitaan  Kompas. "Jika Terjegal di Parlemen, "People Power" Akan Bela Jokowi-JK. menjadi salah satu headline kompas.com. Sekalipun Ketua MPR, Zulkifli Hasan sudah menyatakan tidak ada keinginan untuk menghalangi pemerintahan Jokowi-JK, namun media dengan oplah terbesar ini masih juga memblow-up isu tersebut. Apakah setiap kebijakan Jokowi-JK nanti yang tidak prorakyat lalu dijegal oleh DPR/MPR juga akan dibela melalui "people power"? Inilah ciri media yang sudah partisan dalam pemberitaannya.
Melihat fenomena xenophobia media Projokowi di atas, kita perlu khawatir bahwa media nasional kita hari ini sudah tidak sehat. Mereka menyebarkan virus "ketakutan" dan ruh negatif kepada masyarakat melalui pemberitaannya yang tanpa dasar. Bila ini terus dibiarkan maka masyarakat akan terus tertulari dengan virus-virus negatif tersebut.
Sejatinya media perlu menyebarkan virus damai dalam pemberitaannya. Empat fungsi media: mendidik, menginformasikan, menghibur dan mempengaruhi harus berada dalam nuansa positif, yang bisa menciptakan masyarakat kesejukan, ketenangan dan kedamaian, bukan sebaliknya mendorong masyarakat terkotak-kotak. Cukup persaingan politik dilakukan para elit partai di parlemen. Biarkan masyarakat nyaman menjadi penonton. Sekali-sekali mereka bisa turut menyoraki jagoannya tanpa diprovokasi. Media jangan menyebarkan isu-isu miring tanpa dasar. Jangan menyebarkan ketakutan pada wujud yang tak ada.
Bandung, 8 Okt 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H