Hari demi hari, detik demi detik hingga detak jantung pun berdetak. Mendengar dari obrolan-obrolan sia-sia tak bermakna dari sekeliling mahasiswa di samping kanan kiriku yang menjadikan UAS seakan-akan sebuah persoalan yang menakutkan. Takut, inilah yang dirasakan oleh agen perubahan dunia ini. Makul demi makul harus dilalui oleh akademisi ini. Atas nama ijazah apapun harus dilakukan oleh kebanyakan mahasiswa. Ada yang menggunakan cara-cara busuk tapi dikemas indah seindah istana negara di Senayan Jakarta. Tapi ada juga mahasiswa yang blak-blakkan dan melakukan cara-cara yang jelek sejelek air comberan selokan di tepi jalanan.
Mahasiswa, oh mahasiswa…
Apakah pekerjaanmu seperti ini? Dalam sebuah ketidakjelasan. Mau dibawa kemana negeri ini jika para penerus bangsanya tak seulet, tak seberani, tak semilitan para Founding Father bangsa ini. Soekarno meski dengan sosialis yang salah pun bangga dengan masa mudanya yang sangat bermanfaat, bahkan dalam pidatonya yang tak asing di setiap telinga para akademisi,”Berikan aku sepuluh pemuda maka aku akan guncang dunia.” kata Pak Karno. Mereka yang ngaku jadi fans berat Pak Karno pada faktanya hanya bualan mereka. Anak-anak kiri yang nggak jelas tujuannya dengan berpakaian yang tak indah dilihat menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. “Ntar tuh anak jadi apa ya kalo udah lulus sarjana? Mereka jadi preman jalanan ataukah sampah masyarakat. Sebuah pilihan yang sama-sama tidak nyaman sekali. Sungguh kasian kondisi mahasiswa masa kini yang hanya sukanya 3K (Kos, Kantin dan Kuliah). Tentu jika terus seperti ini dan menghabiskan selama 4 tahun lamanya bener apa yang dikatakan Pak Iwan Fals dalam lagunya Sarjana Muda yang liriknya “Sia-sia semuanya. Setengah putus asa. Dia berucap "maaf ibu...". Apakah itu yang akan dipersembahkan seorang agen perubahan negeri ini kepada ibu yang mengandungnya selama 9 bulan lamanya dengan sebuah kekecewaan yang sungguh sangat menyakitkan hati seorang ibu.
Ilmu yang diraih dan diingat pun hanya ketika dalam mengerjakan tugas saja. Ketika ditanya oleh Pak Dosen mereka hanya bisanya diam tanpa kata sedikit pun. Ketika ada sebuah jawaban pun tak berkualitas yang sungguh percuma mereka adalah seorang akademisi namun nggak akademik sekali. Tak menggunakan dan mencamtumkan referensi dari buku apapun cuman hanya bisa mencamtumkan referensi dari sebuah pengalaman yang didapatkan alias bahasa kerennya irfani. Metode ini seringkali digunakan oleh mahasiswa yang sangat males untuk membaca buku, ke perpustakaan hanya ketika mereka diberikan tugas oleh Pak atau Bu Dosen. Beginilah jika para agen perubahan masa depan yang berulah seperti ini, tentu bagaimana nasib negeri ini yang saat ini telah carut marut dilanda berbagai masalah yang setiap hari muncul di program-program acara berita. Berita-berita yang dikabarkan berirama indah, malah sebaliknya berita-berita yang ada di media massa seakan-akan para generasi muda yang dulu mengenyam bangku perkuliahan sarat dengan tindak kriminalitas yang berbagai macam jenisnya. Lantas sebenarnya apakah yang salah dengan para generasi muda saat ini.
Banyak dari mereka yang berargumentasi negeri ini rusak pertama-tama karena kerusakan moral dan akhlak sehingga berbondong-bondonglah mereka membuat gerakan-gerakan baru yang bergerak di bidang sosial budaya. Ada yang mengatasnamakan mereka Indonesia Mengajar, Indonesia Tanpa Mencontek dll. yang dibuat oleh para petinggi negeri ini yang menjawab kegelisahan permasalahan yang menimpa. Namun, setali tiga uang, apa yang mereka lakukan hanyalah pragmatis semata dan tidak bisa berlangsung lama.
Fenomena UAS di masyarakat kampus sudah tak terhindarkan lagi. Sedangkan dari pihak kampus pun juga tak menekankan aspek akidah yang benar kepada mahasiswanya. Sekali lagi kampus sebenarnya bukanlah tempat yang pas untuk merevolusi diri karena tempat tersebut untuk saat ini hanya menjawab tantangan kapitalisme global yang sedang digelorakan oleh para kapitalis Barat yang diboncengi oleh pemikiran-pemikiran kolot bekas zaman kegelapan dunia yang sering disebut-sebut dengan istilah Dark Ages.
Sejatinya anak-anak kampus alias mahasiswa yang diharapkan penuh oleh masyarakat bisa membawa sebuah perubahan yang hakiki bagi negeri ini, bukannya menambah-nambah masalah. Mereka adalah seorang agent of change yang menjadikan Indonesia lebih baik. Seharusnya mereka bukannya berulah menjadi mahasiswa layaknya preman pasar dengan demonstrasi mereka yang tak beradab. Sekulerisasi yang tampil sebagai ideologi baru saat ini memang telah memberikan virus pada mereka. Sungguh kasihan, sudah bermalas-malasan kena virus juga. Yang pintar dan cerdas pun tak luput dari cengkraman singa sekulerisme ini, dia memiliki sejuta cara untuk membiaskan pemikiran dan hadirnya kembali kebangkitan umat di bawah aturan Allah yakni Syariat Islam. Hingga kini tak banyak mahasiswa yang paham dan kritis terhadap kondisi yang terjadi belakangan di negeri ini mulai dari kasus Korupsi SIM yang dilakukan oleh POLRI, terorisme, penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw melalui film “Innocent of Moslems. Tentu bukan ini yang diinginkan oleh negeri ini, mahasiswa harus bangkit dengan kesadaran berpikir yang berasal dari akal yang telah dimilikinya.
Mahasiswa belajar menjadi seorang akademisi bukan hanya pada saat menjelang UAS, tetapi dia belajar setiap hari dengan beragam bacaan yang berkaitan dengan kemajuan negeri ini. UAS bukan hantu, UAS bukanlah Ujian Akhir Segalanya hingga para mahasiswa terlalu fokus kuliah hanya karena ingin mendapatkan selembar ijazah dengan nilai yang cumlaude. Sadarlah! Bangkitlah! Meretas pemikiran yang tak sesuai dengan zamannya! Mengganti dengan sebuah pemikiran yang cerdas dan cemerlang dengan Islam layaknya para ulama’ yang namanya masih terdengar di telinga Anda.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="UAS dan mahasiswa"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H