Mohon tunggu...
Taufan E. Prast
Taufan E. Prast Mohon Tunggu... karyawan swasta -

orang kampung dan kampungan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Angel Lelga

23 Januari 2014   17:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mata Najwa tentu beda dengan mata Narji. Najwa sekolahnya sampai ke Australi, bapaknya pernah jadi menteri dan mufasirin atau ahli tafsir terkemuka. Cerdas dengan gizi cukup dari kecil, hidup mapan tanpa kekurangan sepanjang hayat. Lha Narji itu siapa? Bukan personil pelawak Cagur yang sering nongol di tivi, temennya Denny dan Wendy yang tiap malam joget Oplosan.

Narji hanyalah salah satu petani dari jutaan petani penggarap di desa kecil, konon sekelilingnya kota, masih di Jawa. Tapi ya begitu adanya.

Sudah petani, penggarap pula. Artinya, Narji itu orang miskin, tidak punya sawah sendiri. Hanya mengerjakan atau mengolah sawahnya orang lain. Narji modalnya hanya tenaga. Otot. Asal makan kenyang, syukur agak berkuah dan bumbunya legit. Cukup. Tidak neko-neko dengan kuliner maksyus.

Sing penting mangan, wareg! Sehat...

Bisa makan, kenyang, cukup. Tidur nyenyak. Syukur bisa mimpi.

Ndilalah sebagai penggemar Bang Haji, siapa lagi bang haji yang terkenal selain Rhoma Irama, kok ya beberapa kali mimpi ketemu sama mantan istrinya yang cantik, tidak bulat, tapi sempurna. Angel Lelga…

“Lik, orang ndeso kok bisa ngimpi ketemu wong uayune poll…” ungkapnya pada Jalu, teman sesama miskin dan nestapanya.

“Haiyaaah, gayamu Jii! Beli pupuk aja ngredit, kok ngimpi Enjel Lelga…”

“Angel Lelga, Lik…”

“Karepmu, lidah-lidahku sendiri!”

“Kalau wong ayu itu tiba-tiba di hadapan kita piye ya, Lik…”

“Cuci muka dulu, Ji. Biar otakmu ndak ngeres!”

“Jangankan kok cuci muka Lik, saya tuh sudah mandi, keramas segala lho! Jadi utekku bersih, seger, enak saja nuduh ngeres…”

“Kalau cuma datang ya ngapain, malah bikin kita susah tidur Ji. Malam-malam bingung thok. Malah ngrusak pemandangan indahnya istri sendiri…” Jalu mengubah posisi duduknya sambil ngencengin tali celana dinas maculnya. “Kecuali datang, ngasih sawah, ngasih kebon, atau kita suruh nggarap sawahnya, semua hasil buminya kita ambil, bolehlah…”

“Ealah, kok nglunjak Lik…”

“Enjel itu bahasa sekolahnya berarti malaikat…”

“Angel, Lik…”

“Wis karepku! Lega itu artinya luas, lapang, plong.”

“Lelga, Lik…”

“Kalau mau dia jadi malaikatnya orang-orang kere kayak kita, bikin kita lapang, plong, masalah kekerean kita tamat, trus kita ndak kere lagi, ya silakan datang…”

“Wis, sekarang tidur lagi Lik, siapa tahu nanti Angel Lelga datang, ngasih sawah sak pupuk dan bibitnya, ngasih solusi atas kemiskinan kita. Eh, siapa tahu…”

“Wooo, cah edan. Bukannya kerja malah ngimpi digede-gedein.”

Jalu meninggalkan Narji sendiri. Kalau orang kaya dan mapan-mapan yang mainnya twitter, ngocehin bola, politik, sampai nyela-nyela orang atau mainan instagram pamer foto kayak Bu Ami. Orang seperti Narji ya hiburannya cuma guyon tentang mimpi yang jelas-jelas tidak mungkin terjadi.

Tapi kali ini Narji yakin. Angel Lelga pasti datang lagi ke mimpinya. Soalnya dia semakin sering melihat gambarnya di pohon-pohon. Baligo besar dekat lapangan pinggir jalan raya. Wajahnya yang cantik jelita sempurna, tapi tidak bulat, seperti hanya memandang dirinya. Senyumnya juga. Diam-diam, Narji mengambil satu alat peraga kampanye pujaannya. Ditempelnya di pintu rumah gedek-nya. Tempat paling strategis untuk dipandangnya sambil ngopi di sore dan malam hari. “Buat nutup gedek yang bolong,” begitu alasan pada istrinya.

“Dia itu kan ndak pinter Pak, pernah jadi model kaset yang keliatan pusernya, suka beli tas-tas mahal,” kata anaknya yang baru SMA dan punya akun fesbuk Angel4Fam, serta suka nonton tivi di rumah tetangga.

“Halah, yang ngakunya pinter-pinter juga ngapusi thok, Nduk! Bohong-bohong juga. Yang keliatannya sopan dan santun juga korupsi! Ngembat duit rakyat. Kalau sudah duduk lupa sama kita, apa bedanya,” sahut Narji sambil matanya menatap senyum sang caleg pujaannya.

“Eh, Bapak ini dikasih tahu kok ngeyel…”

“Bapakmu ini sudah coblas-coblos berkali-kali ya tetap kere! Tetep miskin. Tetap ndak punya sawah sendiri. Rumahnya tetap gedek, setiap pemilu dapetnya cuma kaos tipis kayak saringan tahu. Kamu sekolah ya ruwet, gratis apanya, wong diakal-akali terus, gratis ininya, iuran ini itunya makin banyak.”

“Ibu ndak cemburu, Bu! Bapak ngliatin gambar Angel Lelga terus…”

Istrinya Narji tersenyum, “Biarin buat hiburan bapakmu, Nduk. Capek seharian di sawah, macul, nyiangian, mupuk, nyari utangan buat belanja….”

Anaknya manyun. Narji tersenyum menjawab lemparan pandangan istrinya. Lalu kembali matanya menatap ke gambar caleg cantik yang ditempel di pintu rumah anyaman bambu. Rumah yang dibangun atas kebaikan tetangganya, rumah yang lebih tepat disebut gubug. Tak ada kemewahan di rumah itu. Kemewahan satu-satunya hanyalah mimpi.

Karena mata Narji memang bukan Mata Najwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun