Hari Minggu, rumah makan langganan Pak Camat yang dekat pasar itu pun riuh. Teman mancing, teman bilyar, dan geng-nya main karambol berkumpul. Mereka datang dari mana-mana. Maklumlah, Pak Camat kan temannya banyak. Loyalitasnya tinggi, makanya, hanya dengan sekali kirim broadcast lewat grup whatsapp, mereka pun berkumpul. Minggu ngumpul di D’Pasar ya, ditunggu.
Pemilik rumah makan D’Pasar sebenarnya galau. Nawaitunya, hari Minggu ini membuat sebanyak-banyaknya nasi bungkus. Selain karena solidaritas banyak saudaranya yang terkena bencana, ya sebagai tanda syukur. Walaupun setiap hari sudah menyalurkan nasi bungkus, tapi hari Minggu niatnya akan bikin ribuan. Biar semua korban bencana di kelurahan-kelurahan sekecamatan ini kebagian semua.
Eh, semalam utusan Pak Camat Deye.
“Besok Pak Deye mau ngumpul-ngumpul, siapkan menu seperti biasanya ya…”
Pemilik rumah makan itu bengong. Sempat galau tingkat tinggi. Karena belum sempat mengiyakan, sang utusan sudah nyerocos tentang menu khusus buat pak bos-nya. “Bikin aja buat seratus orang lah, ya.”
“Pak, nasi bungkusnya sudah siap…” seorang karyawannya menyela tiba-tiba.
“Oh, iya, dibagi rata aja, seperti biasanya ya,” pemilik D’Pasar itu menyahuti karyawannya.
“Nasi bungkus? Buat apaan?” tanya utusan Pak Deye.
“Nanti jadi anak-anak lembur Pak?”
Pemilik D’Pasar yang terkenal dengan menu bebek Bali bakar itu diam sejenak. Menatap berganti, karyawannya, utusan Pak Deye. Niat baik jangan ditunda, segerakan! Suara batinnya menguatkan.
“Jadi, jadi… anterin dulu nasi bungkusnya. Kalian makan dulu, baru jalan,” kata pemilik D’Pasar. Badannya yang tinggi besar, kumisnya yang baplang tebal kayak palang pintu kereta, kontras sekali dengan hatinya yang lembut, mudah tersentuh, dan dermawan.
“Urusan saya gimana ini…” utusan Pak Deye kesal merasa dicuekin. “Penting ini!”
“Siap, siap…”
“Nih, depenya. Seperti biasanya aja, nanti billingnya ditulis diskon sepuluh persen, yang lima belas persen buat saya. Deal ya…” kata utusan Pak Deye menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu sambil senyum bahagia.
Hari itu, sengaja D’Pasar hanya melayani Pak Camat Deye dan teman-temannya. Memasak untuk seratus menu sekali embat, sepele buat anak-anak dapur D’Pasar. Kesannya memang jadi eksklusive, dengar saja ocehan utusan Pak Deye. “D’Pasar sudah kita booking, tidak ada tamu lain. Keren pokoknya…”
Padahal mereka tidak tahu, dapur D’Pasar sudah riuh dari sebelum subuh. Ratusan bungkus nasi bungkus sudah beredar untuk sarapan para korban bencana. Ada yang ke pengungsian tanah longsor. Ke posko korban banjir bandang. Mengantarkan ke korban banjir. Dan sesuai niatnya, hari ini pemilik D’ Pasar konsentrasi khusus membuat lebih banyak nasi bungkus. Ribuan…
Riuh di meja makan antara Pak Deye dan teman-teman, mungkin sama dengan riuhnya dapur. Bila di sana bunyi piring berdenting beradu dengan sendok dan garpu, di ruang sebelah ada bunyi wajan berdenting, pisau yang terus mengiris sayuran, kran air yang tak henti mencuci beras berkintal-kintal. Iringannya sama, senyum, dan juga tawa.
Walaupun hasilnya pasti beda.
“Alhamdulillah, ini bungkusan ke seribu…” teriak seorang pelayan D’Pasar sambil mengangkat boks nasi tinggi-tinggi. Kotak nasi polos, tanpa merek, tanpa logo, tanpa gambar apa-apa.
Dapur riuh, tepuk tangan, tawa bahagia dalam semangat berbagi dan membantu sesama yang menggelora. Pemilik D’Pasar berkaca-kaca matanya. Beberapa pelayanan berpelukan. “Anak buah itu tergantung pemimpinnya…” ia membenarkan teori yang mungkin sudah jadi public domain. Maklumlah, kuliahnya drop out. Segera mereka beritahukan kepada para relawan yang siap membagikan. Puluhan sepeda motor datang, beberapa mobil turut serta. Semua bergerak cepat, nasi bungkus dengan lauk istimewa.
Keriuhan itu membuat Pak Deye bangkit dari duduknya, berjalan mendekat ke jendela. Melihat dari kejauhan, orang-orang yang begitu cekatan bekerja. Menyalami dan memeluk hangat pemilik D’Pasar dan meninggalinya doa.
“Terima kasih Pak, semoga berkah, salam dari para pengungsi,” seorang relawan berkata.
Pemilik De Pasar Restoran haru, bahagia, jadi satu. Hari ini, menu nasi bungkus mereka sama dengan yang dipesan Pak Deye dan kawan-kawan. Tidak beda, hanya beda bungkusnya dan tempat makannya. Nikmatnya sama.
Sekilas, Pak Deye tampak membuang muka, ketika dari jauh pemilik D’Pasar melemparkan senyumnya. Padahal bukan senyum untuknya. Tapi senyum kebahagiaannya, telah memenuhi pesan ibunya, “Bantu orang secepatnya dengan yang kamu bisa dan kamu punya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H