[caption id="attachment_219947" align="alignleft" width="300" caption="MEMBUAT ARANG: Sujarwo dibantu istri dan anaknya sedang membuat arang, kemarin. Setiap dua minggu, ia mampu menghasilkan 20 karung arang yang dipasarkan di wilayah Kota Semarang."][/caption] PAGI mulai beranjak siang. Seorang lelaki bersama istri dan dua anaknya berjalan kaki dari kediamannya Jalan Tinjomoyo RT 3 RW 1 Kelurahan Tinjomoyo, Kecamatan Banyumanik. Mereka membawa ember, cangkul dan air minum dengan botol. Saat melintasi jembatan bailey Tinjomoyo, mereka berjalan pelan. Pasalnya, kayu yang terpasang di beberapa titik rapuh dan berlubang. Mereka pun tiba di tanah milik Unika Soegijapranata yang tidak jauh dari Hutan Wisata Tinjomoyo. Tumpukan abu yang dikelilingi lempengan tong bekas mengepulkan asap tipis. Melambung ke angkasa melalui celah terpal berwarna orange yang sudah sobek di beberapa tempat. Pecahan kayu beragam ukuran dan bentuk berwarna hitam pun dikeluarkan dari dalam abu. ''Sudah tiga tahun saya membuat arang, setelah sebelumnya bekerja sebagai tukang ojek di Jatingaleh selama 15 tahun. Kondisi semakin sepi, karena banyak warga yang membeli sepeda motor dengan kredit yang saat ini mudah didapat. Dengan uang muka Rp 300 ribu saja sudah bisa memiliki sepeda motor,'' tutur Sujarwo (35), saat ditemui. Untuk membuat arang, kayu akasia dan angsana didapat baik dari hutan maupun Dinas Dinas Tata Kota dan Perumahan Kota Semarang yang sering memangkas pepohonan yang ada di tepi jalan. Menurutnya, kayu akasia dan angsana sangat baik untuk bahan baku membuat arang. Untuk membuat arang, kayu yang telah dipotong kecil-kecil namun tidak beraturan itu dibakar terlebih dahulu. Setelah membara, ditutup abu sisa pembakaran pembuatan arang sebelumnya. ''Agar menjadi arang yang baik, tidak boleh ada api. Setiap api yang keluar dari sela-sela abu, harus ditutup,'' katanya. Siang itu, Sujarwo dibantu istrinya, Hariyanti (32), kedua anaknya, Dinar (13) dan Jonatan (9) yang sedang libur sekolah. Menurut Jarwo, sapaan akrab Sujarwo, tidak setiap hari arang yang ia produksi dijual. ''Kami biasa menjual dua minggu sekali setelah mendapatkan 20 karung. Setiap karungnya berisi 15 kilogram arang dengan harga Rp 40 ribu per karungnya,'' tuturnya. Sujarwo juga mengaku tidak kebingungan untuk memasarkan hasil produksinya. Pasalnya, pedagang bakso, mie ayam, sate, mie goreng, nasi goreng yang ada di Kota Semarang sudah menjadi pelanggan setianya. Ia pun merasa diuntungkan. Karena, jumlah perajin arang saat ini juga semakin jarang ditemui di Kota Semarang. ''Kalau arang dari luar kota harganya sudah mahal. Bentuknya juga lebih kecil. Sehingga tidak tahan lama ketika digunakan para pedagang,'' ungkap Jarwo yang mengingingkan kedua anaknya dapat menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi itu. (Kang Syukron)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H