Mohon tunggu...
Kang Syukron
Kang Syukron Mohon Tunggu... -

:: Suka Minum Susu Asli Boyolali ::

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Metamorfosis Stempel di Semarang : Dari Karet Ban Truk hingga Stempel Tiga Warna

6 Desember 2012   10:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:06 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13547891601784437161

[caption id="attachment_219964" align="alignleft" width="300" caption="SEJARAH STEMPEL: Mantan Ketua Paguyuban Stempel dan Pelat Nomor Semarang Nursiyo (46) menunjukkan bentuk stempel dari masa ke masa, mulai dari berbahan kayu, stempel runaflek hingga stempel warna."][/caption] SELAMA ini, makna denotasi dari stempel adalah sebuah alat untuk mengesahkan surat, ijazah, autaran atau apapun yang perlu disahkan. Stempel juga dapat diartikan sebagai lambang atau wakil dari sebuah "keharusan" yang harus ada. Misalnya, ijazah tidak sah jika tidak distempel. Dari beberapa sumber, asal-usul stempel berawal ketika dinasti Yin dan Shang, untuk mencegah surat atau bingkisan penting dibuka oleh yang tidak berkepentingan, diamankan dengan sebuah tali yang diberi tinta segel atau disebut fengni. Pada masa dinasti itu pula, kegiatan administrasi utamanya dalam surat-menyurat dan menutup pintu gudang, pejabat Dinasti Yin dan Shang menggunakan tinta segel. Seiring dengan perkembangan jaman, pada masa dinasti Zhou, kegiatan pertukaran barang pun meningkat pesat. Untuk menjamin keamanan transaksi dan penyimpanan barang, mereka menggunakan keaslian stempel sebagai kunci kepercayaan transaksi. Beberapa waktu lalu, para arkeolog dari Israel Antiquities Authority menemukan stempel keramik berusia 1.500 tahun di Horbat Uza, timur Acre, Israel. Stempel kuno temuan itu biasa digunakan untuk menandai roti yang halal. Para ahli yakin stempel itu milik pembuat roti yang menyediakan roti halal untuk Yahudi dari Acre selama periode Bizantin. Dengan semakin majunya zaman dan berkembang-pesatnya teknologi maka bentuk stempel pun berubah dari gaya/tampilan konvensional (stempel kayu, congkel karet) ke model tampilan moderen (stempel runaflex/kristal, cetak karet). Stempel moderen juga tidak lagi diproses secara manual, melainkan dengan menggunakan mesin (sistem komputerisasi). Sehingga lebih rapi, bersih, indah dan tajam dipandang. Mantan Ketua Paguyuban Stempel dan Pelat Nomor Semarang Nursiyo (46), warga RT 2 RW 4 Kampung Kalicilik, Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara menuturkan, sejarah masuknya stempel ke Semarang tidak diketahuinya secara persis. Akan tetapi, berdasarkan cerita turun temurun yang ia dengar, pada 1970-an warga yang menjadi perajin stempel hanya Yanto atau dikenal dengan sebutan Yanto Medhok, Haji Basri dan Buwang. Awalnya, mereka membuat stempel berbahan dasar karet dari ban truk. Untuk membentuk tulisan yang diinginkan pemesan, mereka membentuknya dengan pisau dan plat besi yang diruncingkan. Untuk gagang, mereka menggunakan kayu dengan ujung bulat. Karet yang sudah diukir atau dibentuk tulisan pada bagian yang tidak diukir ditempel gabus tipis atau gabus doble tip. Setelah itu, ditempel ke gagang kayu stempel. Berawal dari pesanan yang banyak dan tak sanggup menyelesaikannya, ketiga orang itu mengajak para tetangga yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMP atau SMA untuk membantu. "Beliau kini sudah meninggal. Stempel buatan Yanto maupun H Basri dikenal banyak orang, bahkan staf kantor dinas dari Kabupaten Demak, Kendal, dan Kabupaten Semarang. Hasilnya rapi, halus, dan murah,'' tutur bapak empat putra dan dua cucu itu saat ditemui di kios Stempel dan Letter Universal yang ada di depan Toko D n D Collection Jl Imam Bonjol. Untuk menjaga dan meneruskan nama besar Yanto Medhok dan Haji Basri, kata Nursiyo, para perajin yang telah memasuki generasi ketiga dan keempat hingga kini terus berusaha membuat hasil produksi tetap rapi, halus dan berkembang ke model tampilan moderen (stempel runaflex/kristal, cetak karet, stempel warna) dan tidak lagi diproses secara manual, melainkan dengan menggunakan mesin (sistem komputerisasi). Tak hanya warga Kalicilik yang kini membuat stempel dan membuka kios di sepanjang Jalan Imam Bonjol. ''Banyak warga di luar Kampung Kalicilik yang belajar di kampung itu dan kini membuka usahanya di Jalan Pemuda, Pasar Johar dan wilayah lain yang ada di Kota Semarang,'' jelas suami dari Harni Susanti (41) itu. Dari stempel pula, selain membuka peluang usaha dan membuka lapangan pekerjaan, melalui paguyuban perajin stempel yang dibentuk telah menciptakan kerukunan dan saling kerjasama. Beragam kegiatan sosial terus dilakukan dalam rangka menumbuhkan rasa persaudaraan. Misalnya, ketika salah satu dari anggota mendapatkan musibah sakit, atau menggelar hajatan, para anggota lain saling bahu membahu untuk membantu. ''Selain stempel runaflek, stempel warna, kami juga melayani jasa variasi pelat nomor kendaraan baik motor maupun mobil, emblem, brosur, kartu nama, lencana,'' ujarnya. (Kang Syukron)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun