Kucoba berjalan kesana-kemari, obrol sana obrol sini seputar pemilu 9 April nanti. Bukan satu dua orang yang saya temui dan saya tanyai seputar caleg atau partai mana yang akan jadi pilihan nanti. Jawabannya hampir sama, „ah, kalau ada yang ngasih uang ya berangkat ke TPS. Kalau ngga mah mendingan kerja cari duit,“ ungkapnya. Ketika disusul dengan pertanyaan ; „bagaimana kalau ada yang ngasih uang ?“. Jawabannya ; „ya saya berangkat ke TPS untuk nyoblos pilih dia yang ngasih uang.“ Pertanyaan berlanjut : „kalau yang ngasih uang lebih dari satu orang ?“ Jawabnya : „Saya pilih yang paling gede“.
Itulah sebuah „potret“ kecil sikap politik masyarakat kita di pedesaan tempat saya tinggal menyikapi pemilu 9 April nanti. Meski saya berkeyakinan tidak semua calon pemilih bersikap demikian.
Menangkap sikap masyarakat seperti itu, saya menjadi mengerti mengapa para caleg berburu suara ke daerah-daerah dengan menggunakan amunisi „uang“, dengan modus atau cara yang beragam. Ada beberapa caleg yang secara terang-terangan membagi-bagikan uang kepada setiap calon pemilihnya, terutama ketika massa calon pemilih „bersilaturahmi“ ke rumah caleg, baik perorangan maupun rombongan. Atau, dengan modus pendataan calon-calon pemilih oleh tim sukses yang kemudian ditindak lanjuti dengan pembagian uang. Bahkan ada caleg yang secara terang-terangan menghambur-hamburkan uang kepada peserta kampanye, dan itu dilakukan di atas panggung kampanye (sambil berjoget dangdut). Jumlah uang yang diterima calon pemilih memang tidak seberapa, tapi nampaknya menjadi pilihan bagi setiap calon pemilih. Akibat pilihan masyarakat seperti itu, maka dana yang harus dikeluarkan oleh seorang caleg jumlahnya tidaklah sedikit.
Alasan yang dikemukakan calon pemilih hampir sama,: „kalau tidak dimintakan uang sekarang ya kapan lagi, toh kalau sudah jadi, mereka tak akan memperhatikan kita.“ungkap seorang calon pemilih yang sempat saya tanyai beberapa waktu lalu. Ini merupakan apatisme politik yang membahayakan nasib bangsa di masa depan. Saya yakin bahwa sikap apatisme ini akibat tidak jalannya pendidikan politik yang dilakukan oleh pemerintah maupun partai politik.
Dari ilustrasi-ilustrasi di atas, maka semakin kuatlah dugaan saya kalau sikap politik bangsa ini sudah begitu pragmatis dan transaksional.Bila sudah begini, apa mungkin pemilu yang menjadi kebanggaan kita sebagai negara demokratis, bisa menghasilkan para negarawan yang baik, yang menjaga dan memelihara hak-hak rakyat. Lalu, siapa yang salah ?
Mengertikah masyarakat fungsi dan tugas anggota legislatif ?
Bila mencermati sikap masyarakat di atas, saya beranggapan ada yang belum difahami oleh sekian banyak anggota masyarakat kita tentang apa fungsi dan tugas anggota parlemen di DPR, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Mereka mengira bahwa persoalan-persoalan kehidupan di masyarakat, berhubungan langsung dengan tugas dan fungsi anggota dewan, sehingga apa yang mereka rasakan merupakan buah dari perilaku politik anggota dewan. Padahal tugas dan fungsi dari anggota dewan (DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kab/Kota) adalah membuat aturan-aturan hukum bernegara dan berpemerintahan dalam bentuk Undang-undang di level DPR, Peraturan Daerah (perda) di level propinsi dan kabupaten/kota.
Baik Undang-undangmaupun Perda, dibuat bersama pemerintah, dan dilaksanakan oleh pemerintah pada setiap level (pusat,propinsi,kab/kota). Pemerintahlah eksekutornya, bukan dewan. Fungsi lainnya dari dewan adalah mengawasi pelaksanaan undang-undang atau perda. Jadi tidak tepat kalau segala kelemahan dan kekurangan yang dirasakan oleh masyarakat dituduhkan langsung pada dewan, meski dewan sendiri tidak bisa berlepas tangan, karena mereka memiliki tanggungjawab sebagai pengawas, pengontrol pelaksanaan pemerintahan.
Masyarakat kurang percaya pada partai politik. Mengapa ?
Di atas, sudah saya kemukakan bahwa sikap apatis masyarakat terhadap partai politik akibat dari tidak jalannya pendidikan politik, baik yang dilakukan pemerintah maupun partai politik itu sendiri. Ini salah satu kelemahan kita. Hal lain yang mengakibatkan masyarakat tak mempercayai partai politik, karena rakyat dipertontonkan dengan sikap dan tindakan anggota-anggota dewan yang tidak baik bahkan dinilai mecederai amanah yang diberikan para pemilihnya. Korupsi yang dilakukan anggota dewan dan petinggi partai politik merupakan hal yang menjijikan di mata masyarakat. Disamping itu masyarakat menilai banyak anggota dewan yang tak berakhlaq baik, dari ; tidur, buka film porno, ngobrol, banyak mangkir sampai ke kasus-kasus perselingkuhan dan a moral lainnya. Sebagian masyarakat menilai, dewan tidak mampu menjalankan pengawasan optimal terhadap pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan yang dilaksanakan pemerintah, sehingga segala bentuk penderitaan, dari ; kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, kekerasan, kejahatan, ketidak adilan, terus berlanjut.
Apa yang harus kita lakukan ?
Saya masih memiliki optimisme bahwa pemilu 2014 ini bisa menghasilkan para legislator yang baik berkualitas untuk membangun bangsa ini lebih sejahtera lahir maupun batin. Saya berharap masyarakat menunjukkan sikap positip terhadap sistem demokrasi kita saat ini dengan menggunakan hak politiknya yang secara sakral telah dipegangnya sejak reformasi 1998.Pilihlah para calon anggota dewan secara objektif dan rasional, untuk bisa membentuk pemerintahan yang lebih baik, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Meski tidak dilarang, golput merupakan sikap „tak bertanggung jawab“.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H