Teka-teki tentang persyaratan pendidikan calon kepala Desa terjawab sudah. Dengan telah diterbitkannya Peraturan Bupati Karawang Nomor 37 Tahun 2014 TentangTata Cara Pemilihan Kepala Desa Di Kabupaten Karawang tanggal 15 Desember 2014, para calon kades yang berijasah Paket B merasa lega. Selama ini berhembus informasi bahwa mereka tak bisa mencalonkan, karena Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 secara eksplisit menyebut kata “sekolah menengah pertama atau sederajat” dan kata “pendidikan formal” dalam persyaratan pendidikan.
Perbup 37/2014 memuat tiga pasal yang menyebut persyaratan pendidikan. Pertama di pasal 34 huruf (d) tertulis :”Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat”. Kata-kata ini persis sama dengan yang tercantum pada pasal 33 huruf ( d ) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Kemudian pada pasal 38 tertulis : “Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 huruf d, berupa ijazah pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan ijazah terakhir yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.” Berikutnya pasal 57 huruf (d), tertulis : “Legalisasi ijazah pendidikan formal atau kesetaraan atau persamaan dari tingkat dasar sampai dengan ijazah terakhir.”.Runtutan pasal-pasal inilah yang menjadikan para calon berijazah Paket menjadi lega.
Lemah dan rawan digugat.
Pasal 34 huruf (d) Perbup No 37/2014 bisa dikatakan konsisten dengan produk hukum yang ada di atasnya, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014. Namun di pasal 38 yang merupakan penjelasan dari pasal 34, mulai ada pergeseran substansi, dimana kata “formal” sudah menghilang, sehingga penjelasan berikutnya di pasal 57 huruf (d) muncul dengan tegas dan berani bahwa persyaratan pendidikan bagi calon kepala desa bukan hanya pendidikan formal, tapi juga pendidikan kesetaraan dan persamaan. Kalau memang demikian, mengapa pada Undang-undang Nomor 6/2014 menyebut secara tegas dan jelas kata-kata : “sekolah menengah pertama atau sederajat” serta penjelasan pasal 41 huruf (b) nomor (4) PP 43 Tahun 2014 yang secara tegas menyebut pendidikan formal ? Saya kutip bagian dari Peraturan Bupati Karawang terdahulu (PERBUP No.15 Tahun 2013) pasal 6 :
(1)Persyaratan calon kepala desa berpendidikan paling rendah tamat setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf c yaitu jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal (program keseteraan).
(2)Jenis pendidikan formal (sederajat), meliputi ;
a.Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI);
b.Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)/Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Tehnik (ST), Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Sekolah Keterampilan Kepandaian Putri (SKKP), Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun, dan Kursus Pendidikan Administrasi (KPA),
(3)Jenis-jenis pendidikan non formal (kesetaraan) meliputi :
a.Ujian Persamaan Sekolah Dasar (Uper SD), diikuti oleh mereka yang tidak lulus/tidak tamat dalam menempuh evaluasi akhir, sehingga tidak memiliki Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Dasar ;
b.Ujian Persamaan Sekolah Lanjutan Pertama (Uper SLTP) diikuti oleh mereka yang memiliki ijasah Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dan melanjutkan pendidikan SMP/SLTP namun tidak lulus/tidak tamat dalam menempuh evaluasi akhir, sehingga tidak memiliki Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
(4)Jenjang pendidikan yang dapat menjadi persyaratan calon kepala desa yaitu lulusan SD /MI / Paket A / Uper SD dan lulusan SLTP / SMP / MTs / Paket B / KPA / SGB/ PGA dan atau sederajat yang dibuktikan dengan ijazah/STTB.
Sangat jelas perbedaannya dibanding dengan apa yang dimaksud oleh pasal 33 huruf (d) Undang-undang Nomor 6/2014, serta penjelasan pasal 41 huruf (b) nomor (4) PP 43 Tahun 2014.
Kata-kata sekolah menengah pertama atau sederajat serta pendidikan formal yang secara eksplisittertuang dalam UU No6/2014 dan PP 43/2014, memuat pesan kemauan politik dari penyelenggara negara agar kualitas pendidikan kepala desa setapak lebih maju. Coba bandingkan kata-kata pada PP Nomor 72 Tahun 2004 pasal 44 huruf (c) yang berbunyi : “berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat pertama dan/atau sederajat.” dengan kata-kata pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 33 huruf (d) :” :”Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat”. Sekilas memiliki pengertian yang sama, tapi sesungguhnya memiliki pesan yang berbeda.
Sebagai bangsa yang ingin maju tentu harus bisa menangkap signal pesan tersebut. Disana ada pesan kemauan lebih maju. Terlebih ketika kita sedang berpacu dengan perkembangan global yang berkembang pesat, dimana pendidikan menjadi kunci suksesnya. Dengan tidak mengecilkan pendidikan Paket (non formal), pendidikan formal dengan segala persoalannya tetap menjadi andalan pembangunan bangsa.
Bila Perbup ini tetap diberlakukan sebagai dasar hukum bagi Panitia Pilkades, maka bukan tidak mungkin dikemudian hari Panitia dan Bupati Karawang akan digugat ke PTUN oleh para calon berpendidikan formal yang kalah ketika yang menang adalah calon berpendidikan Paket, karena Perbup tersebut dinilai bertentangan dengan ruh (substansi) Undang-undang No 6/2014 maupun PP 43 /2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H