…
Jogja basah kala itu. Waktu dimana senja tak lagi indah, terbungkus awan kelabu di setiap sisi langitnya, menyemburkan rintik-rintik air untuk mengantarkan kami menuju pulau seberang. Tidak ada senyum untuk setiap yang pergi ataupun ditinggalkan. Kami menangis dalam bathin, dalam jiwa yang tak mampu lagi mengeluarkan tetesan-tetesan kesedihan. Kami akan pergi meninggalkan jogja. Berkelana di tanah kelahiran orang lain, asing di nama ataupun budaya, menyusuri negeri mencari kepingan cerita baru, dalam rangka memenuhi kewajiban kami sebagai mahasiswa dan untuk mengabdi membangun negeri.
Kami memilih perbatasan untuk menyendiri, membangun negeri dalam sunyi, tapal batas yang dalam peta tak lagi jelas dan apabila tak diperhatikan akan bablas. Seperti yang telah disampaikan Presiden Jokowi dan Wakilnya Pak JK (Jusuf Kalla) dalam salah satu “nawa cita”nya yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.” Entah apa yang dimaksud “pinggiran” dalam nawa cita Bapak Jokowi tersebut, tapi yang pasti kami mengartikannya sebagai perbatasan yang harus dibangun, ditata, dikuatkan, dan dikenalkan bahwa perbatasan bukanlah halaman belakang, melainkan pagar terdepan.
…
Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan biasa kami singkat menjadi KTB-03 adalah tujuan kami akan mengabdikan diri, mencurahkan ilmu kami, saling berbagi, dan belajar memahami. Berjuang bersama mengenalkan ilmu pengetahuan untuk masyarakat desa perbatasan yang dilema akan kewarganegaraan.
…
“Dari Jakarta, naik burung besi
Turun di bandara, Supadio.
Lanjut lewat darat ke Balai Karangan
8 jam perjalanan di Entikong nginap semalam.”
Seperti lirik lagu diatas yang dilantunkan penyanyi kelahiran Kepulauan Rote, Obbie Mesakh yang berjudul Sungkung. Tapi bedanya, kami bertolak dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta dan untuk turunnya kita sama, yaitu di Bandara Supadio Pontianak. Hanya sebentar kami menghirup oksigen dalam pengapnya kabin pesawat. Meskipun kalau dilihat dari kaca mata Google Maps Yogya-Pontianak jaraknya sekitar 988,6 km, namun burung besi yang kami tumpangi tak lebih dari 2 jam untuk mengawang di langit-langit nusantara.
Perjalanan lanjut lewat darat. Menyusuri jalan yang berliku, naik turun, dan yang menjadikan badan pegal-pegal adalah jalan yang berlubang. Dari Pontianak menuju Entikong kami habiskan 9 jam perjalanan dalam bis provinsi dengan perut mual-mual dan kepala pusing. Lebih satu jam daripada perjalanan Obbie Mesakh kala itu. Melewati Kecamatan Balai Karangan kami sampai di Entikong. Kami istirahat di Kampus paling ujung Kabupaten Sanggau, STKIP Melawi. Kami lelah. Kami lelap, berharap lelah kami lekas lenyap.