Oleh: Silahudin
PERSOALAN kehidupan politik akhir-akhir, tampak semakin dihiasi oleh manuver-manuver politik yang mengabaikan kepentingan bangsa secara luas.
Serangkaian persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, entah itu persoalan kemiskinan, kekerasan, rasa aman dan lain sejenisnya semakin terbengkalai untuk teratasi. Mereka berada dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, namun sesungguhnya persoalan-persoalan tersebut seakan-akan telah menjadi “teman sejati” atau memang sengaja terbengkalai akibat terkalahkan oleh kepentingan “matematis” kepentingan kelompok.
Bangunan sistem politik nasional, terjangkiti oleh kepentingan pragmatis “kedaulatan” kelompok. Bahkan diakui atau tidak kepentingan kelompok dalam dinamika kepolitikan nasional semakin kasat mata. Sehingga nation building yang merupakan keniscayaan dalam kehidupan politik negara bangsa ini, berada di persimpangan jalan, karena memang tervirusi oleh kepentingan-kepentingan yang menyebabkan semakin terabaikannya makna kebangsaan tersebut.
Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 hingga kini seakan-akan telah mati suri, karena misi yang diembannya nyaris tak terdengar lagi dalam tataran empirik kehidupan politik negara bangsa ini. Karena secara niscaya misi reformasi ini sedang mengalami atau memang sengaja “dimatikan” oleh kekuatan-kekuatan politik yang tidak setuju dengan gerakan reformasi.
***
FAHAM kebangsaan merupakan ‘anak sah’ dalam ruang lingkup dialektika kehidupan bernegara dan berbangsa. Ia harus senantiasa melekat dalam koridor dinamika pergumulan dan peradaban bangsanya.
Namun demikian, tampaknya pergulatan kebangsaan (nasionalisme) Indonesia dewasa ini sedang “sakit”, sehingga krisispun menimpanya. Dengan perkataan lain, kebangsaan negara bangsa ini berada di persimpangan jalan, sehingga dianggap tidak aktual dan relevan lagi dengan kondisi global.
Perlu disadari tuntutan reformasi sesungguhnya berada dalam peradaban nasionalisme. Bangkitnya kesadaran lapisan masyarakat menuntut reformasi dalam segenap kehidupan negara bangsa ini, tiada lain “disinari” oleh akumulasi ketidakpuasan atas sikap-sikap para penyelenggara negara dan pemerintahan. Sehingga keinginan menata kehidupan politik negara bangsa berada dalam ranah empirik yang kondusif tak bisa diabaikan. Bahkan hal itu merupakan keniscayaan tuntutan kebangsaannya.
Itu sebabnya, reformasi kebangsaan memiliki makna substantif, tidak artifisial bagi kepentingan bersama, karena bangkitnya nasionalisme tersebut merupakan bagian integral dalam penjelajahan kesadaran kebangsaannya. Bingkai-bingkai fundamental yang menghiasi faham kebangsaan, baik secara faktual historis maupun kekiniannya, justru harus ditempatkan pada focus of interest kepentingan bagi sebauh negara bangsanya.
Dalam arti, adanya konfigurasi keterbukaan secara politik, ekonomi dan sosial budaya agar percaturan itu semua tidak diskriminatif, melaikan inklusif. Dikarenakan pembangunan bangsa selama ini telah membuktikan bahwa teknologi pembangunan dalam pelbagai segmen kehidupan tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak, justru yang menonjol adalah kepentingan “kedaulatan” kelompok. Yaitu dengan adanya kubang kesenjangan secara politik, ekonomi, hukum bahkan adanya dominasi subordinasi sosial budaya.
Pelacakan tatanan politik kebangsaan dengan dimensi pembangunan yang berpijak dan berorientasi kepada pemerataan, atau teknologi pembangunan berwajah keadilan sosial, secara niscaya merupakan agenda reformasi kebangsaan Indonesia.
Pemerataan atau pembangunan berwajah keadilan sosial, tidak harus ditakuti, justru secara niscaya menjadi rujukan yang intrinsik dalam menjawab tuntutan reformasi kebangsaan ini.
Hasil-hasil pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok kecil, sedangkan rakyat banyak berada dalam wilayah kehidupan yang dikorbankan. Dan disadari atau tidak akibat kenyataan ini, ketimpangan dan kecemburuan entah itu secara perorangan, kelompok dan teritorial tak bisa dielakkan dengan adanya goncangan disintegrasi bangsa, dengan berbagai gerakannya.