Mohon tunggu...
kangsamad
kangsamad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Si Sulung Itu Tidak Ikut Berpesta

23 Juli 2010   05:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:39 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

-XIV- Lukas 15:25 Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. 26 Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. [caption id="attachment_202376" align="alignnone" width="193" caption="Si Sulung Tidak Ikut Berpesta"][/caption] Ternyata ada yang tertinggal mengikuti pesta, anaknya yang sulung. Anak yang selalu bekerja keras di rumah bapaknya. Anak yang tidak pernah membantah setiap perintah bapaknya, dan tidak pernah mengeluh, tetapi juga ia tidak pernah mengalami sukacita. Emosinya selalu tertahan dalam dirinya. Ketika seluruh kampung sudah larut dalam sukacita tersebut, gaungnya ternyata terlambat datang ke telinga anaknya yang sulung. Tidak mungkin di rumah ada pesta yang dia tidak ketahui sebab musabab-musababnya. Ketika semua sepertinya begitu cepat berubah, bau harum rasa lemak anak sapi mulai tercium, dan suara seruling, rebana dan kecapi mulai ditabuh mengajak setiap orang untuk bergembira. Ia mulai menyadari bahwa ada pesta yang lebih dari sekedar pesta. Tetapi kebingungannya menjadi lebih besar sebab dia sendiri tidak pernah mengalami pesta. Pesta adalah sesuatu yang sangat asing bagi dirinya. Ketika dia baru datang maka ia menanyakan, “Apa arti semuanya itu?” Pertanyaan yang mungkin keluar dari seorang yang tidak pernah mengalami sukacita. Pertanyaan yang mungkin secara tidak sadar memberikan gambaran betapa dia selama ini di dalam ketaatannya tidak pernah merasakan sukacita yang sejati. Tinggal bersama orang tuanya ternyata tidak membuat dia merasa nyaman dan aman. Pemberontakan adiknya membuat dirinya sangat marah. Kemarahannya atas sikap adiknya dikompensasikannya dengan kerajinan dan ketaatannya di rumah ayahnya. Dan sepertinya ingin membuktikan bahwa dirinya tidak sama dengan adiknya. Dirinya orang yang baik dan layak dihormati, berbeda dengan adiknya. Secara tidak sadar kemarahannya menetaskan kepahitan di dalam hidupnya. Ia tidak bisa mengampuni adiknya dan sukacitanya menjadi hilang. Sang anak sulung menjadi orang yang dingin di dalam segala kesalehannya. Ia tidak merasakan kehilangan seperti yang bapanya rasakan. Ia kehilangan belas kasihan. Kebenciannya telah berganti rupa menjadi kesalehan yang dingin, egois dan kaku. Bunyi seruling dan tari-tarian tidaklah cukup kuat untuk merangsang dirinya untuk ikut bersenandung ria, justru menimbulkan kecurigaan mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah bapanya. Jikalau adiknya datang dengan segala kekayaan dan keberhasilan mungkin masuk akal kita mengadakan pesta, tetapi si bungsu datang dengan segala kebangkrutan. Ini tidak adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun