[caption id="attachment_35364" align="alignleft" width="128" caption="Tangga Kemana atau Sudah Dimana? - Ilustrasi"][/caption] Saya sering membayangkan sebagai sebuah usaha untuk menaiki sebuah anak tangga ketika saya berusaha untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa saya. Tingkatan keimanan saya ditentukan oleh pada tingkatan mana anak tangga yang sudah saya jejaki. Atau jikalau digambarkan di dalam grafik sumbu x terhadap y, apakah fungsi/grafik yang tergambarkan sesuai dengan variable waktu (x) menunjukkan kecenderungan naik. Sebuah ukuran pertama yang biasa dipakai adalah apakah saya sudah melakukan kewajiban keagamaan saya, atau apakah masih ada bolong-bolongnya atau apakah saya bisa konsisten menjaga kinerja saya di dalam melaksanakan kewajiban keagamaan saya. Ketika sudah tercapai, maka ekstasi berikutnya adalah menaikkan derajat pencapaian dari syariat agama tersebut sampai kepada tingkatan yang lebih tinggi bahkan ekstrim (dan yang utopis), karena di dalam pemahaman ini ukuran pencapaian keimanan dan ketakwaan saya ditentukan bagaimana tingkat prestasi yang sudah dicapai.
Kedua adalah bagaimana keterlibatan saya di dalam kegiatan-kegiatan yang ber-atas nama agama atau Tuhan yang telah saya lakukan. Prestasi sebagai aktivis di dalam berbagai kegiatan atau organisasi keagamaan yang saya lakukan menjadi sebuah ukura dan kebanggaan tersendiri bagi saya sehingga hal ini memberi dampak kepada meningkatnya keimanan dan ketakwaan saya. Keterlibatan saya sebagai aktivis di kelompok tersebut menjadi dasar tingkatan keberagamaan yang saya hidupi. Sehingga muncullah banyak aktivis di banyak tempat sebagai wadah untuk menyalurkan hasrat keberagamaan tersebut.
Ketiga adalah bagaimana prestasi saya di dalam mengkompensasi perbuatan dosa saya yang pernah saya lakukan dengan perbuatan-perbuatan baikyang bisa saya lakukan sebagai gantinya. Sebagai kompensasi hal-hal yang tidak bermoral atau yang dilarang oleh agama, maka kemudian muncul sebuah respon untuk mengimbanginya dengan kegiatan-kegiatan baik yang dianjurkan oleh agama. Sehingga bisa jadi orang-orang tiba-tiba melakukan sesuatu yang sangat berbeda dengan keadaan sebelummya. Kepuasaan atas usaha kompensasi itu muncul,misalnya ketika nama saya disebut sebagai orang yang baik, dermawan dan sosial, serta sebagai pendukung atau penyumbang di dalam berbagai kegiatan keagamaan, atau malah sebagai aktivis pembela dari kegiatan keagamaan yang diikutinya. Dan kegiatan tersebut sangatlah menarik publisitas tersendiri, sehingga menaikkan posisi kita di mata kelompoknya atau masyarakat sehingga mengubah citra saya di mata masyarakat menjadi lebih baik.
[caption id="attachment_35365" align="alignleft" width="300" caption="Dimanakah Posisi Saya? - Ilustrasi"][/caption] Keempat adalah menjadikan kegiatan keagamaan, di dalam perpektif hirarki kebutuhan Maslow, sebagai sarana untuk aktualisasi diri. Sehingga ketika orang sudah tercukupi kebutuhan biologis, keamanan, sosial, dan penerimaannya maka jenjang yang paling mungkin adalah mengaktualisasi diri di dalam kegiatan keagamaan. Dua hal tercapai, di dunia sekuler (kalau saya boleh sebut demikian) dia mungkin sudah mencapai puncak tangga prestasi tersebut, sehingga kurang lengkap jikalau pencapaian tersebut tidak diimbangi di dalam keberagamaan, sehingga dia pun ingin mencapai status tertentu di dalam keberagamaannya. Ada sesuatu yang kurang, meskipun pencapaian di dalam keluarga, karir dan penghidupan sudah di dapat, jikalau belum juga melakukan hal tersebut sebagai puncak aktualisasi diri sebagai orang yang beragama. Anda yang punya uang, punya waktu, pengaruh atau kuasa, punya intelektualitas, adalah orang yang paling berpotensi untuk mencapai aktualisasi diri di dalam sisi ini.
(Anda pun bisa menambahkan sendiri daftar ini)
Implikasi logis dari hal di atas adalah:
- Jikalau saya bisa (berhasil) melakukan seperti hal2 di atas, maka sebuah kecenderungan alamiah di dalam diri saya langsung menepuk dada saya seraya berkata, “Kamu hebat/ Kamu orang yang taat beragama/ Kamu orang soleh/ Kamu tidak seperti yang lain/ Kamu sudah melakukan segala kewajiban keagamaanmu dengan baik/ Kamu pasti masuk surga/ dsb.” Atau minimal saya bisa merasa aman karena dapat memupuk saham/bekal jikalau nanti saya mati. Serta merta kesombongan atau puas diri menyergap saya di dalam keberhasilan saya. Dan ketika saya bermegah atas keberhasilan tersebut maka saya sudah mengingkari hal yang paling utama di dalam laku keruhanian yang mendasar. saya sudah menjadi “Tuhan” atas diri saya sendiri. Saya menganggap bahwa diri saya layak, lebih baik dan patut untuk dikasihi Allah, dan termasuk golongan orang yang mendapat nikmat, dan tidak seperti orang lainnya. Sehingga ketika kita berelasi dengan Sang Khalik, sebuah sikap laten yang muncul adalah, “Allah (seharusnya) memberkati saya … kan saya sudah melakukan ini dan itu”. Dan menjadikan Allah sebagai suruhan kita. Kita menjadikan Allah sebagai pelengkap penderita. Ketika ada hal yang jelek terjadi, maka pertanyan yang muncul adalah, “Kenapa hal ini terjadi pada saya?” Bisa saja hal ini membawa kepada pengakuan jujur, tetapi bisa juga hal ini justru membuat kita mencari kambing hitam atas peristiwa yang terjadi, menyalahkan pihak lain yang menyebabkan dirinya mengalami hal yang tidak diharapkan tersebut.
- Jikalau saya gagal di dalam menjalankan hal di atas, maka nilai keberartian saya menjadi berkurang. Kemudian muncul sikap untuk menyalahkan diri atau orang lain, dan kemudian muncul rasa frustasi, rendah diri atau bahkan stress dan terintimidasi, karena gagal melakukan kewajiban keagamaan saya. Ketika tuntutan itu semakin menekan maka kemudian muncullah respon alamiah untuk membuat komitmen-komitmen yang lebih hebat lagi sebagai sebuah lompatan final untuk menunjukkan kebisaan atau kelayakan saya dihadapan Tuhan. Dan ketika berhasil, maka kemudian memasuki siklus yang no.1, dan ketika gagal dia jatuh di dalam rasa frustasi yang akut, bahkan depresi yang membelenggu. Di dalam ranah ini, saya kehilangan perspektif keberhargaan saya dihadapan Allah. Karena nilai diri saya ditentukan oleh kinerja yang telah saya capai, bukan di dalam cara pandang yang Allah pakai, yaitu “ bahwa saya sangatlah berharga dan mulianya saya dihadapan-Nya”. Dan di satu sisi saya kehilangan perspektif kasih karunia dan kebenaranNya yang saya butuhkan, dan dibawa kepada keputus-asaan demi keputus-asaan. Agama tidak memberikan pengharapan kepada mereka yang kalah secara mental dan fisikal, atau kepada mereka yang tidak beruntung.
Kehidupan keberagamaan di dalam ranah no. 1 memberikan dampak, bahwa agama hanya bagi orang yang bisa dan berprestasi, dan terlebih-lebih sebagai upaya untuk meneguhkan status quo keberhasilan hidup dengan sebuah citra yang lebih mulia, Allah adalah sebagai pelengkap di dalam memoles citra diri kita. Sedangkan jikalau berada di dalam ranah no.2, meka kehidupan keberagamaan saya bagaikan orang yang letih lesu dan berbeban berat. Saya tidak bisa melihat pengharapan yang sejati, tetapi justru berputar-putar di dalam keputusasaan di dalam menantikan takdir.
[caption id="attachment_35370" align="alignright" width="278" caption="Naik tangga ke atas pada tangga berjalan turun? - Ilustrasi"][/caption] Di dalam ranah no. 1, maka kebisaan yang saya jalani sebenarnya hanya satu langkah sebelum saya jauh di dalam kegagalan, sehingga saya kemudian berada di dalam ranah no. 2. Sebuah siklus lingkaran setan telah terjadi. Oleh karena itu sebuah pertanyaan muncul, bagaimana pengharapan yang sejati dan yang membebaskan dari dilema siklus ini? Karena sebenarnya ranah 1 dan 2 bagaikan sisi dari keping mata uang.
Tekanan yang berasal dari sebuah pemahaman bahwa keberartian saya ditentukan oleh kebisaan saya/kinerja saya begitu menghantui kehidupan saya. Saya mudah terjebak di dalam siklus tersebut, sehingga akibatnya saya menjadi orang yang sangat pintar di dalam berbagai macam topeng kemunafikan.
Kemudian saya menyadari, bahwa bukan demikian jalan keberagamaan yang seharusnya saya tempuh, karena jkalau demikian maka keberagamaan saya menjadi sesuatu yang memburu-buru berlelah dan tidak membebaskan; hidup ketakutan dan intimidasi dibalik keberhasilan-keberhasilan semu yang berhasil dicapai.
Bukankah Allah adalah Allah yang adil, bahkan Allah pun memberikan hujan kepada orang yang baik dan orang yang jahat. Bagaimana dengan mereka yang miskin, tidak mampu, tersingkir, cacat, tidak berpenddikan, yang kalah dan terbuang? Bukankah ada harapan bagi mereka di dalam ketidakbisaan mereka? Bagi orang-orang yang kalah, apa yang menjadi andalan di hadapan Allah? Bukankah janji Nya itu memberi penghiburan bagi yang hancur hati dan kelepasan dari belenggu?
Apakah ada pengharapan yang sejati di dalam situasi seperti ini?
Puji syukur kepada Allah, karena di dalam berita sukacita (injil) Kerajaan Surga, Isa Almasih sebenarnya memberikan sebuah platform yang baru di dalam kita beribadah kepada Allah. Platform tersebut adalah di dalam anugrah dan kebenaran Allah, yang termaktub di dalam karya Isa Almasih. Platform itu adalah sebuah terobosan (breaktrough) dari Allah di dalam memutuskan siklus tersebut.
Sabda Isa Almasih terngiang di kepala saya :
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.”
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga.”
Lalu Isa menyampaikan lagi suatu ibarat kepada orang-orang yang merasa diri benar dan menganggap rendah orang lain. SabdaNya, “Ada dua orang ke Baitullah untuk berdoa. Seorang diantaranya adalah orang Farisi (Ahli Hukum Agama) dan yang lainnya adalah seorang pemungut cukai. Orang Farisi tu berdiri dan berdoa begini di dalam hatinya, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu karena aku tidak seperti orang lain. Aku bukan perampas, bukan orang yang tidak adil, bukan pezina, dan bukan pula seperti pemungut cukai ini, Aku berpuasa dua kali seminggu dan aku pun mempersembahkan kepada Tuhan sepersepuluh dari penghasilanku.” Akan tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh dan tidak berani menengaah ke langit. Sambil memukul-mukul dada tanda menyesal ia berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku, orang yang berdosa!” Aku (Isa Almasih) berkata kepadamu, pemungut cukai itu pulang ke rumahnya sebagai orang yang ibenarkan oleh Allah, bukan orang Farisi itu. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan. Tetapi sebaliknya, barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Sedangkan Nabi Yeremia berseru :
“Beginilah firman TUHAN: Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekuatannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.”
Ketika saya memegahkan diri atas kebisaan atau kinerja saya, maka saya kehilangan perspektif terhadap hal-hal yang mendasar di dalam laku keruhanian saya, yaitu kebergantungan kepada Allah.
Perspektif di dalam keruhanian saya seharusnya diletakkan kepada pengenalan dan pemahaman “SIAPA ALLAH” dan “siapa saya”. Saya yang “miskin” dihadapan ALLAH yang penuh dengan kasih kasih setia, keadilan dan kebenaran, dan dari situ lahir sebuah seruan iman yang sejati, “Tuhan, saya membutuhkan Engkau”.
Saya ingin menggambarkannya secara lebih jelas di dalam diagram berikut :
[caption id="attachment_35366" align="alignleft" width="300" caption="Jalan Ruhaniah Yang Sejati"][/caption]
Jalan keruhanian saya adalah sebagai sebuah proses menapaki dua pemahaman yang secara bersama-sama bekerja, yaitu yang mengarah ke atas (vertical), pengenalan yang semakin besar akan SIAPA ALLAH dan yang mengarah ke bawah (horizontal), pengenalan yang semakin besar akan SIAPA SAYA. Di dalam pendalaman terhadap SIAPA ALLAH saya bisa mengenal segala kemuliaan Nya, di dalam kasih anugrah dan kebenaran yang Dia nyatakan kepada saya. Sedangkan di dalam pendalaman SIAPA SAYA justru muncul kesadaran keberdosaan saya, kebangkrutan hidup saya, dan betapa tidak dapat diandalkan hidup saya.
Siapa yang dapat bermegah di hadapan cahaya Allah yang panas suci? Bukankah ketika saya berjalan mendekat menghampiri terangNya yang Suci, maka sebenarnya yang semakin jelas diekspose oleh kesucian Nya adalah borok-borok kehidupan saya, bahkan mungkin kesesatan yang bahkan tidak saya sadari pun dipaparkan nyata kepada saya sehingga saya tidak bisa berdalih lagi. Pekerjaan pertama paling sulit adalah menyadari bahwa diri saya tidak sebaik yang saya pikirkan, bahkan lebih buruk lagi. Hal yang kedua yang sama sulitnya adalah menyadari bahwa di dalam kesadaran yang demikian kita mampu mempercayai Allah yang penuh dengan kasih dan kebenaran.
Sejatinya saya tidak dapat bermegah di dalam kebisaan saya, karena sebenarnya Allah menyukai kebenaran di dalam batin. Jikalau demikian, bukankah saya adalah orang yang celaka. Namun syukur kepada Allah, bahwa Allah penuh dengan kasih anugrah dan kebenaran yang di dalam iman saya mendapatkannya. Iman di dalam bahasa yang paling sederhana adalah sebuah seruan doa, “Tuhan, saya orang berdosa, saya tidak bisa mengandalkan diri saya sendiri, saya “miskin” dihadapanMu, dan saya membutuhkan kasih anugrah dan kebenaran-Mu mengisi hidup saya.”
Sebuah perjalanan ruhani adalah sebuah proses kerendahan hati kepada kerendahan hati yang lebih besar, dari iman kepada iman yang lebih besar, dari kebergantungan kepada kebergantungan pada Allah yang lebih besar, dari kemuliaan kepada kemuliaan Allah yang lebih besar, yang dialami dalam kehidupan orang percaya.
Bagi saya karya Isa Almasih adalah puncak berita sukacita tentang kasih Allah, yaitu anugrah dan kebenaran Allah yang dinyatakan kepada setiap orang yang percaya kepadaNya.
Di dalam kegenapan karya Isa Almasih, saya beroleh keberanian untuk beribadah kepada Allah tanpa rasa takut, karena di dalam Isa Almasih kepenuhan anugrah dan kebenaran Allah dinyatakan kepada kita sebagai jaminan yang sejati. Di dalam kebebasan dari rasa takut lahir kasih yang sejati, dan dari kasih yang sejati lahir kehidupan yang penuh dengan ucapan syukur dan penyerahan. Inilah ibadah kita yang sejati, ketika kehidupan di dalam luapan ucapan syukur dan penyerahan ini (atas anugrah dan kebenaran Allah bagi kita yang berdosa dan tidak layak ini), memancar, membanjiri orang-orang di sekitar kita.
Perjalanan ruhani bukanlah sebuah kompetisi dengan Allah untuk menunjukkan sebuah prestasi ruhani, tetapi justru sebaliknya perjalanan ruhani adalah jalan kerendahan hati, sehingga kapasitas ruhani saya diperluas untuk mengalami curahan anugrah demi anugrah dan kebenaran demi kebenaran Allah. Perjalanan ruhani adalah menjadikan Allah menjadi sahabat, dan kekasih bagi hidup saya.
Syukur kepada Allah, di dalam perspektif ini saya tidak terjebak di dalam memburu-buru berlelah di dalam sebuah kompetisi keberagamaan seperti yang saya sebutkan di atas, dan saya justru diberi keberanian untuk menghampiri tahta kasih anugrah Nya yang tiada terperi di dalam segala ketidaksempurnaan hidup saya, sehingga anugrah dan kebenaran Nya mengubahkan saya. Itulah laku keruhanian yang sejati.
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” Biarlah kata ini terngiang senantiasa di dalam sanubari saya yang paling dalam.
Salam Taklim
Kang Samad
Lihat artikel sebelumnya yang terkait :
Evolusi Keberartian 1 (Dari mensana in corpore sano, IQ, EQ, AQ dan SQ)
Evolusi Keberartian 2 ("Tai Kucing Rasa Coklat")
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H