Mohon tunggu...
kangsamad
kangsamad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Catatan Seorang Musafir: Ketenangan dan Kenyamanan

5 Desember 2011   03:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:49 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Yang kukasihi kawan seperjalananku,

Pertemuan terakhir kita beberapa waktu lalu menyisakan beberapa pertanyaan yang penting di dalam diri saya, terutama yang berkaitan dengan rasa nyaman dan ketenangan.

Waktu mengajarkan kita bahwa hidup ini sejatinya adalah sebuah perjalanan panjang dimana bukan hanya tawa kebahagian yang kita lewati, tetapi justru ingatan akan penderitaan demi penderitaan yang serasa terus mendatangi. Tawa sukacita hanyalah sebuah perayaan sejenak ketika kita berhasil melalui akhir dari satu babak penderitaan yang harus kita jalani, bahkan kadangpun kita lupa untuk merayakannya, karena sudah banyak tantangan yang di depan yang harus dijalani.

Kawan, saya menganggap diri saya sebagai seorang musafir,seorang pendatang dan perantau di dunia ini. Tidak ada tempat yang terbaik yang harus saya diami, selalu saja ada waktu dimana saya harus membongkar kemah saya atau membungkus secuil perbekalan saya (kalau pun ada) untuk kemudian melanjutkan perjalan sampai ke tempat yang dirindukan.

Seperti halnya banyak orang lain, saya pun sering mengira-ngira bahwa sekiranya saya melakukan ini atau itu, atau mendapatkan ini dan itu, maka saya akan merasa nyaman dan tenang dan perjalanan say a menjadi lebih mudah. Dengan demikian, saya menjadi merasa berguna atau saya merasa hebat, tetapi justru itu merupakan sebuah awal yang salah untuk memulai sebuah perjalanan. Sejatinya saya tidak lebih hebat dan lebih berguna dengan semua itu, bukan apa yang saya peroleh dan yang saya kerjakan yang membuat saya hebat, tetapi sebuah kasih yang menerima saya apa adanya justru yang membuat saya menjadi pribadi yang berarti.

Kawan, hidup ini penuh dengan ketika sempurnaan. Hubungan-hubungan yang rapuh, kepahitan, kesendirian, harapan yang tidak sampai, pengkhianatan, hati yang patah dan hancur, kekecewaan dan semua hal yang sepertinya bagaikan memburu-buru berlelah untuk ketidakpastian dan ketidakcukupan.

Kadang kala justru saya diperhadapkan kepada beratnya tekanan kehidupan yang membuat berat untuk melangkah dengan tegap. Banyak sekali beban yang tidak saya harapkan yang justru membebani saya di dalam melangkah, saya jadi kecut dan tawar hati, kemarahan memuncak di dalam diri dan siap membakar , tetapi semua itu justru membuktikan bahwa memang sejatinya diri saya tidak berdaya, saya bangkrut, rubuh dan patah.

Bukankah kita semua pernah mentertawakan semua kebodohan kita, kekita kita menjadi sensitif dan menjadi tidak sabar dengan segala sesuatunya ketika apa yang kita harapkan tidak sampai, atau merasa kata-kata yang paling bijakmu dari orang lain menjadi sebuah serangan atas harga diri kita, namun selalu saja kita jatuh di dalam kesalahan yang sama.

Kita menjadi tidak “jenak” (tenang), tegang dan hubungan-hubungan dengan sesama kita menjadi hancur. Kita ingin menjadi pahlawan dengan segala ketidaksempurnaan yang terjadi, tetapi justru kita malah menjadi pecundang yang tidak berdaya.

Semua itu bagaikan duri di dalam hidup kita, tetapi justru di dalam semua itu kita sejujurnya merindukan anugrah yang memampukan kita mengatasi itu.

Di dalam ketidaksempurnaan saya yang endemik ini, saya akhirnya menyadari supaya Tuhan yang Maha Sempurna untuk menganugrahi saya kekuatan untuk mengatasi hal ini.

Selama perjalanan, saya akhirnya sadar bahwa hidup ini bukanlah tentang saya. Menengok kembali ke belakang, saya terasa tertohok, bahwa betapa saya di dalam kebodohan yang akut ingin membuktikan siapa saya di hadapan Tuhan. Saya patut, saya layak, saya berhak, saya mampu, saya hebat, dan semua peninggian atas diri saya ingin saya pertaruhkan dihadapan Tuhan, padahal semua itu sampah. Akhirnya anugrah menjadi tidak berguna bagi orang seperti saya. Saya orang yang rugi, karena di dalam kemegahan diri saya, saya membuat tidak bermakna tawaran anugrah Tuhan bagi hidup saya.

Kawan, sebenarnya hati saya miris dan getir ketika mengingat semua kebodohan itu. Waktu justru membuktikan kepada saya, bahwa bukan kuat dan gagah saya yang bisa saya andalkan untuk melajutkan perjalanan kita, tetapi saya membutuhkan kuasa dari tempat yang tinggi untuk memampukan saya melanjutkan perjalanan ini.

Bukankah perjalanan yang sedang kita lalui ini sebenarnya justru sebagai sebuah pembuktian tentang siapa Tuhan, Tuhan yang dapat diandalkan di dalam setiap langkah perjalanan yang kita lalui bersama.

Tetapi ketika hidup ini berlalunya terburu-buru, maka saya pun tahu bahwa saya tidak mempunyai kuasa untuk mengendalikan apa yang terbaik bagi diri saya.

Saya ingat kata-kata yang pernah suatu kali aku dengar, “di dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu”.

Sulit rasanya menerapkan kata-kata bernas itu. Seorang pernah mengatakan kalau hati ini, jiwa ini itu seperti monyet, tidak pernah tenang bertengger di satu dahan, selalu melompat kesana kemari berayun-ayun tiada henti melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Kita tersenyum tidak rela ketika jiwa kita digambarkan seperti halnya seekor monyet,tetapi fakta mengatakan memang betapa sulitnya untuk membuatjiwa kita tenang dan percaya.

Akhirnya saya menyadari, sikap tinggal tenang merupakan sebuah pilihan kehidupan. Tinggal tenang adalah sebuah langkah iman.

Sebagai musafir, kadang saya merasa sendiri, tetapi sebenarnya saya tidak sendiri, ada Tuhan yang beserta kita. Tuhan beserta kita. Itu adalah kata-kata yang sakti dan rahasia. Memahami rahasia kata itu seperti kita mengecap indahnya kemuliaan Tuhan yang disingkapkan di dalam hidup kita. Bukankah hal itu yang akhirnya membuat kita memilih untuk tenang dan percaya.

Kawan, saya akhirnya perlu untuk berkata kepada jiwa saya, “mengapa engkau tertekan hai jiwaku dan gelisah di dalam diriku?” Ya mengapa? Tidak ada alasan saya untuk tertekan dan gelisah ketika saya menggantungkan kehidupan saya kepada Tuhan.

Kadang saya agak dibingungkan, apa ini sebuah nasihat, sebuah janji atau sebuah perintah? Tetapi itu tidak menjadi persoalan lagi ketika yang mengatakan hal ini adalah Tuhan yang penuh kasih dan kemurahan, yang siap merengkuhkan tanganNya untuk menolong dan menopang saya ketika saya pun hanya mempunyai senoktah iman untuk mempercayaiNya.

Kepercayaan itu membangkitkan kekuatan, tetapi juga kerendahan hati yang sejati. Di dalam jiwa yang rendah hati, kenyaman dan ketenangan yang sempurna bersemayam, dan kekuatan untuk menghadapi persoalan kehidupan menemukan gairahnya. Kekuatan itu melahirkan kelemahlembutan, dan kelemahlembutan itu mengatasi segala rintangan.

Kawan, saya menyadari bahwa jiwa saya seharusnya selalu merindu Tuhan. Merindu Tuhan merupakan sebuah energi yang tiada habisnya yang senantiasa memotivasi perjalan seorang musafir. Bukankah kerinduan itu membuat jiwa kita bergetar-getar menanti-nantikan saatnya penemuhan itu tiba, menjadi bunga-bunga yang berseri di taman sari hati, membuat wajah dan hidup kita merona menantikannya.

Adalah merupakan sebuah anugrah yang menguatkan jikalau ada kawan seiring yang selalu bersama berbagi dalam perjalanan ini, namun tidak selamanya hal itu terjadi, Kawan. Ada kalanya kita membutuhkan kesendirian untuk akhirnya bisa memahami dengan sempurna ketenangan, kecukupan dan kenyamanan yang sejati.Bukankah jikalau Dia beserta kita, itu cukup bagi kita?

Kawan, selamat melanjutkan perjalanan. Doasyukur dan harapan pada Tuhan aku naikkan supaya perjalanan kita semua sampai dengan sempurna.

Salam Taklim,

Kang Samad

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun