Mohon tunggu...
kangsamad
kangsamad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dilema Anak dari Perkawinan Beda Keyakinan

7 Desember 2011   17:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:42 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seorang pemudi menyampaikan persoalannya kepadaku.

Pemudi yang menginjak bangku kuliah ini lebih dibingungkan lagi dengan status keberagamaannya, karena kedua orang tuanya mempunyai keyakinan yang berbeda.

Ketika memilih kepercayaan ibunya, pemudi ini pun takut hal ini akan mengecewakan bapaknya, demikian juga sebaliknya. Dilema ini akhirnya membawa kepada kebingungan yang akut.

Ketika menyampaikan persoalan ini kepada saya, saya bisa menganggap ini kesempatan menjelaskan kepada dia dengan segala keyakinan iman saya, namun saya tahu bahwa yang dibutuhkan pemudi ini bukan lah banyak hal tentang penjelasan tentang iman dari saya, namun justru timbul belas kasihan terhadapnya, dan saya  pun lebih banyak mendengar persoalan dia selama ini.

Dengan adanya teknologi internet, sebenarnya banyak pertanyaan dari pemudi ini yang akan dijawab. Internet bisa menghindarkan dari dis-informasi yang tidak perlu, yang didasari oleh prasangka-prasangka yang salah, sehingga ketika dengan jujur mencari, menimbang dan mengolahnya, maka sebenarnya banyak pertanyaan dari pemudi ini yang akan terjawab.

Informasi yang sempurna yang diterima oleh seseorang hanyalah satu bagian orang mengambil langkah, tetapi yang lebih perlu lagi adalah seseorang mengalami jamahan atau perjumpaan iman dengan Tuhan.Pengetahuan yang sempurna tentang segala ilmu tidaklah membawa lebih dekat kepada Tuhan, kecuali anugrah Tuhan yang membukakan mata rohani seseorang untuk melihat kebenaran yang sejati, dan memaknai segala pengetahuan kebenaran di dalam terangNya.

Akhirnya memang jawaban bagi pemudi ini bukan hanya ikut keyakinan ayahnya atau ibunya, tetapi jawaban yang terbaik bagi pemudi ini adalah dia mengikuti Allah yang Sejati.

Serta merta saya mengatakan dan menantang dia dengan perkataan ini, “Ketika kamu mengenal Allah yang Sejati, maka pilihanmu itu adalah juga pilihan yang terbaik bagi kedua orang tuamu. Itu akan membawa kebaikan kepada ayahmu maupun ibumu.”

Setelah kata itu terucap, justru kata-kata tersebut selalu terngiang di dalam benak saya.

Apakah saya mengalami kebenaran apa yang saya katakan?

Pengalaman yang seseorang alami dengan Tuhan tidaklah dapat didekonstruksi. Itu adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa diambil dari diri orang tersebut. Dan mengalami Tuhan tidak dapat diwariskan secara genetis oleh karena kedua orang tua kita, tetapi harus dialami oleh setiap orang yang lahir di dunia ini.

Apakah yang sebenarnya terjadi , apakah kita yang memilih atau kita dipilih?. Kalau saya yang memilih, maka di dalam ketidaksempurnaan yang saya miliki, saya tidak mampu, tetapi ketika Allah yang Sejati memilih saya, maka Allah yang sempurna tidak akan pernah salah memilih saya yang tidak sempurna ini. Inilah misteri rahasia iman.

Kedua orang tua saya mengalami pernikahan beda keyakinan, tetapi setelah belasan tahun sejak pernikahan mereka, akhirnya kedua orang tua kami berjalan bersama di dalam keyakinan yang sama. Saya lahir di dalam budaya dimana keberbedaan tidaklah menjadi masalah besar di dalam suatu keluarga besar, pun yangberkaitan dengan masalah keyakinan. Di dalam hubungan keluarga yang demikian, akhirnya waktu yang akan menunjukkan buah-buah iman itu di dalam relasi-relasi yang ada. Formalitas ritual keagamaan malah justru yang menghambat seseorang untuk melihat secara jujur dari makna sebuah kepercayaan yang dihidupi, orang lihat buah dari apa yang orang percayai, orang lihat hati bukan pakaian lahiriahnya. Namun, justru benteng prasangka dan ketakutan di dalam menghadapi perbedaan tersebut yang membuat hubungan-hubungan alamiah tersebut menjadi rusak.

Ayah dan Ibu adalah orang pertama di dalam keluarga besar yang mepunyai keyakinan yang berbeda. Pilihan tersebut tentunya membawa konsekuensi tersendiri, meskipun Budaya Jawa pedalaman secara umum lebih terbuka di dalam menghadapi perbedaan, tetapi pilihan yang berbeda tentunya secara tidak langsung akan banyak diperhadapkan pada berbagai pertanyaan, kesalahpahaman, atau dapat pula disalah mengerti. Waktu berlalu, dan akhirnya hal itu tidak menjadi persoalan lagi.

Ayah dan Ibu adalah orang yang paling tua yang masih hidup di keluarga besar kami, sehingga sesuai dengan tradisi orang Jawa, maka ketika Lebaran maupun Natalan, rumah kami akan selalu dikunjungi oleh semua orang dari keluarga besar, sungguh sangat meriah kedua hari raya tersebut di rumah kami.

Ketika saya lahir, maka saya sudah tidak mengalami persoalan seperti apa yang dialami oleh pemudi ini, namun sebenarnya saya masih tetap mengalami pergumulan yang sama tentang apa yang saya percayai sampai akhirnya mengalami hidayah anugrah dari Tuhan. Mengalami Tuhan, adalah mengalami kasihNya, kebaikanNya, pengampunanNya, sukacitaNya, damai sejahteraNya, penerimaanNya tanpa syarat , yang lebih agung dan mulia dari pada sekedar pengetahuan ilmu keagamaan. Hal itu yang juga dirindukan untuk dinikmati oleh orang-orang disekitar saya, bahwa hidup saya seharusnya memancarkan buah-buah dari apa yang saya percayai.

Akhirnya kata-kata kepada pemudi tadi membuat saya melakukan refleksi tentang siapa yang saya percayai, dan apakah dampaknya bagi kehidupan orang-orang lain di sekitar saya.

Kembali ke persoalan pemudi ini, dilema iman yang dihadapi sebenarnya bukanlah masalah antara memilih menyukakan ibu atau ayahnya, atau pun juga bukan terpenuhinya sebuah syarat formalisme keagamaan, tetapi mengalami Tuhan yang Sejati di dalam hidupnya.

Mengalami Tuhan adalah mengalami sebuah rahasia kemuliaanNya, rahasia kemuliaanNya yang telah dibukakan itu pasti juga akan menyukakan baik ayah maupun ibu pemudi ini. Sejatinya, inilah kabar sukacita yang ingin didengar oleh mereka.

Semoga pemudi ini dituntun kepada jalan yang sejati.

Salam Taklim

Kang Samad

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun