Tulisan ini sepenuhnya saya ambil dari buku "Menyongsong Sang Ratu Adil - Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen", karya Bambang Noorsena , Penerbit Yayasan Andi - Yogyakarta, 2003, (hal. 17 - 23). [caption id="attachment_293232" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi : wayang kulit"][/caption] Dalam perspektif Kristiani, 'Isa adalah wahyu Allah yang menjadi manusia. Dalam sosok Juru Selamat dunia itu, kerinduan manusia untuk bersatu dengan Allah mendapatkan kepastian. 'Isa al-Masih adalah "Sang Manunggaling Kawula Gusti" sendiri. Gelar "Manunggaling Kawula-Gusti" (Yunani : en anthropo theos) bagi kanjeng Gusti 'Isa berasalah dari Santo Antonius dari Antiokia (tahun 68 - 107).  Ditekankan pula bahwa Kristus serempak dalam kodrat ganda-Nya: "Menurut daging dan menurut Roh, dilahirkan dan tidak dilahirkan, lahir dari Maria dan lahir dari Allah. Bila diterjemahkan dalam "bahasa ngelmu" Jawa: mungguh ing daging lan mungguhing roh, pinutra nora pinutrake, mijil saka Maryam lan mijil saka Allah, loro-loroning atunggil. "Sebagai sabda Allah", tulis Santo Ignatius selanjutnya, "Kristus keluar dari Dzat Allah apa seges proelthon (dari keheninigan kekal). 'Isa adalah Kalimatullah, SAbda Langgeng kang mijil saking Dzat Allah Kang Maha Langgeng ing kelanggengan (Firman abadi yang keluar dari Dzat Allah yang abadi dari keabadian). Mengatasi ruang, waktu, qabla kulla ad duhr (sebelum segala abad), bi ghayri jasad (bukan kelahiran jasad). Itulah kelahiran Ilahi Sabda Allah dari Allah min al Ab dunu al-umin. Lahir dari SAng BApa tanpa ibu. Mijil saking Hyang Agung saderenging wonten jagad bawana gung, tanpa dunung, tanpa biyung. Mengapa ditegaskan tanpa ruang, tanpa waktu, tanpa jasad, dan tanpa ibu? SEbab Allah itu, Non et generans neque genita. Maksudnya, persis sama dengan dalil Islam Lam Yalid wa lam Yulad. Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan secara fisik. Firman Allah itu kemudian nuzul (turun) dari surga dan menjadi manusia untuk mengembalikan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa "mulih marang mulanira" (kembali ke asal mulanya), yaitu "yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah" (Jawa: tinulad saka pesemon lan citrane Gusti Allah). Sebab sebagaimana Firman Allah, Kanjeng Gusti 'Isa adalah "Citrane Gusti Allah kang orang katingal" (Kolose 1:15, "Gambar Allah yang tidak kelihatan"). Firman Allah yang ghayr al-Makhlug (bukan ciptaan), menjadi model bagi seluruh manusia "yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya" (Kejadian 1:26-27). Dan setelah kejatuhan manusia dalam dosa, tidak ada seorang pun yang mampu mengembalikan manusia kepada fitrah penciptaannya mula-mula menurut gambar dan rupa Allah itu, jikalau bukan gambar dan rupa Allah sendiri, yaitu Kanjeng Nabi 'Isa Kalimatullah (SAbda Allah). Dalam penghayatan  Kristen,  keselamatan manusia tidak hantya digambarkan dengan "munggah swarga" (masuk surga) saja. Apalagi kalau surga masih digambarkan dengan kolam susu, mandi madu, dan para bidadari cantik, serta gambaran kenikmatan duniawi lainnya. Dalam pandangan Kristen, tujuan keselamatan manusia adalah mencapai "manunggaling kawula-Gusti". Itulah yang dimaksud dengan "...dadia tunggal sipaf kaya Allah" (II Peterus 1:4). Dalam terjemahan bahasa Arab: tasyiru syuraka'a fii ath-athabiat al-Ilahi-yah ("...supaya mengambil bagian dalam kodrat Ilahi"). Di sini tampaklah iman Kristen, terlebih bila didekati dalam penghayatan di atas, sebenarnya dapat disebut sebagai "ngelmu tuwa". Bahkan ngelmu yang paling tuwa daripada segala ilmu, yang dalam Kejawen dianggap sebagai suatu kekeran (rahasia). Dalam bahasa orang Kebatinan, dalam kodrat ganda Kristus itu sekaligus ditemukan Gustining jagad cilik (Tuhan atas mikrokosmos) dan Gustining jagad gedhe (Tuhan atas makrokosmos). Namun sebagaimana dikemukakan Kreamer, ngelmu inilah yang blak-blakan tanpa tedeng aling-aling dibuka para kiai Kristen Jawa itu. SEbab rahasia itu ternyata merupakaninti pewartaan Injil, meminjam istilah Rasul Paulus : pambabaring kekeran kang kasidem wiwit purwaning zaman (pernyataan rahasia, yang didiamkan sejak permulaan zaman), tetapi yang sekarang telah dinyatakan dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa" (Roma 16:25-26). Kenyataan ini dikemukakan dengan bukan tanpa menyangkal perbedaannya, sehingga seolah-olah kita menerima suatu kekristenan sebagai ngelmu sebagaimana dipahami oleh R. Ng. Ranggawarsita. Sebab dalam hal "manunggaling kawula-Gusti", kekristenan tidak mengizinkan pandangan bahwa manusia lebur dalam wujud wajib, suksma kawekas, dan alam kodrat. Dalam bahasa gereja, umat beriman manunggal dengan salirane Sang Kristus (tubuh Kristus) secara mistik. Mustahil manusia lebur dalam Dzat Allah, sebab Allah itu Khalik (Pencipta) dan manusia itu makhluk (ciptaan). Abba Yuhanna Mansyur dari Damaskus mengibaratkan hubungan kawula-Gusti seperti pedang dan api. Pedang dibakar oleh api menjadi tajam. Manusia ibarat pedang dan Allah ibarat api. Api membakar pedang dan meningkatkan kualitasnya menjadi sempurna. Namun, pedang tetap pedang dan api tetap menjadi api. Bentuk radikal terhadap penghayatan kebatinan Jawa, tambak pada ajaran Syekh Siti Jenar. Akan etapi pandangan Kejawen tentang hal itu memang tidak pernah sama. Beberapa varian penghayatan tetap mempertahankan batas-batas antara Khalik dan makhluk, khususnya yang tampak pada penghayatan Islam Jawa yang lebih santri. Dengan penghayatan ini, penghayatan Jawa bertambah satu varian lagi. Penghayatan Islam tampaknya lebih berat kepada aspek tanzih (transedensi Ilahi), sedangkan Kejawen dengan latar belakang Hindu-Budha pada aspek tasybih atau imanensi-Nya. Kekristenan tampaknya barada di tengah-tengahnya, tidak lain karena Yesus sebagai model manunggaling kawula-Gusti. Akhirnya semakin pararel Kejawen-Kristen dikumpulkan, tampaknya iman Kristen menabur benih di tempat yang cukup subur. Dalam banyak ungkapan Kejawen kita telah menangkap bayang-bayang, yang mengarah kepada cahaya-Nya yang penuh, yaitu kasunyatan mengenai keselamatan itu sendiri. SEbuah penantian yang penuh cinta dan kerinduan. Bukan berjaga di puncak malam yang gelap, melainkan ketika ... langit ring bang wetan wus katon raina dening sunaring hyang bagaskara. Ya, sebuah penantian kala sayap-sayap fajar telah memekar, menuju rembang siang nan terang-benderang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H