Seragam resmi kami adalah sarung atau sorban dan kepribadian kami adalah kepribadian "bocah-bocah" sarungan. Tugas kami saat itupun perlu dibalut dengan "sarung". Kami yang berasal dari kaum sarungan, yang sudah cukup lama meninggalkan sarung dalam keseharian tugas, kembali lagi mengenang masa-masa sarungan saat di pesantren dulu. Dengan itu, kami dapat berbaur dengan para santri  bahkan merasa sebagai kakak tuanya. Kamipun melihat mereka memperoleh "trust" dari kami. Ini keberhasilan pertama kami. Melakukan "diplomasi publik".Â
Di sisi lain, kami juga perlu melakukan diplomasi keluar, bernegosiasi dengan para syaikh agar mereka mau memberikan izin kepada para santrinya untuk dievakuasi.Â
Kami, diplomat dan polisi mengenakan sarung dan surban, memakai bahasa mereka dalam bernegosiasi. Kami mencium tangan para syaikh, menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi, dan tentu dengan adab serta tata krama ala pesantren. Sama sekali tidak ada kesan bahwa kami adalah diplomat dan polisi.Â
Dalam beberapa pertemuan dengan para syaikh itu, kami menjelaskan bahwa di tanah air sana orang tua para santri khawatir atas keselamatan anak-naknya jika imbas perang akan meluas.Â
Dengan nada yang santun namun meyakinkan, ketua Tim kami menjelaskan bahwa kami diutus secara resmi oleh Pemerintah Indonesia untuk mengajak para santri kembali ke tanah air.
Gayungpun bersambut. Menghormati tamu ada hal penting dalam agama Islam. Pemohonan kami untuk melakukan evakuasi mendapatkan restu dari para syaikh. Secara umum para syaikh mengatakan, "jika Pemerintah Indonesia meminta untuk mengevakuasi warga negaranya, maka tak ada alasan bagi kami untuk menolaknya", demikian jawaban yang kami terima. Selain itu para syaikh juga menambahkan bahwa para santri yang tidak ikut dalam evakuasi, maka mereka akan memberikan rasa aman dan menanggapnya seperti anaknya sendiri.
Kamipun merasa lega dengan respons positif itu. Tugas bernegosiasi telah kami tuniakan dengan baik. Kepentingan Pemerintah Indonesia mendapatkan dukungan.
Berbekal izin dari para syaikh itu, kami meminta izin kepada para syaikh dari berbagai pondok pesantren yang menampung para santri dari Indonesia agar mengizinkan satrinya untuk kami ajak berdialog. Poin-poin yang kami sampaikan dalam dialog tersebut di antaranya adalah bahwa Pemri berkewajiban untuk melindungi warganya di daerah konflik maupun daerah yang berpotensi konflik. Karenanya Tim mengajak seluruh WNI yang ada di Yaman untuk dapat segera mengungsi. Seluruh biaya evakuasi akan menjadi beban Pemri.
Kami juga menyampaikan bahwa evakuasi ini bersifat imbauan. Bagi mereka yang memutuskan untuk menetap di Yaman, maka konsekuensi yang timbul kiranya menjadi tanggung jawab masing-masing. Pemerintah Indonesia tetap akan memberikan perhatian kepada semua warganya, baik yang bersedia dievakuasi maupun yang memilih tinggal di Yaman.
Tim kami juga menekankan agar para para santri terus memantau keadaan yang berkembang dan menyikapinya dengan bijak. Beberapa daerah yang sebelumnya diprediksi tidak terimbas konflik pada kenyataannya dalam waktu cukup singkat menjadi memanas dan situasi tidak menentu, sebagaimana yang terjadi di wilayah Aden dan Mukalla.
Akhirnya, upaya yang  keras itupun berbuah manis. Jumlah pendaftar evakuasi semakin banyak. Ditambah lagi, di Tarim terjadi kelangkaan BBM. Hal ini disebabkan karena terhambatnya suplai ke wilayahtersebut  dari jalur Mukalla. Sebagaimana diketahui, kondisi Mukalla, yang merupakan ibukota Hadramaut, belum sepenuhnya normal, sehingga berpengaruh pada wilayah-wilayah  di sekitarnya.Â