By: Kang Salim
Terus terang, daripada nonton acara tv kebanyakan kita terkadang lebih suka nonton tayangan iklan. Canggih-canggih, inspiratif, dan menarik. Hal yang serupa kadang juga terjadi ketika kita sedang membolak-balik majalah atau koran.
Terlepas dari siapa yang berada di “belakang layar” perusahaan-perusahaan periklanan di Indonesia (konon, media periklanan di negeri kita dikuasai orang asing, kata teman saya yang sarjana jurusan periklanan), mereka berhasil menjalankan misinya untukmeng-agenda setting pola pikir para penikmat media massa.
Proses agenda-setting rasanya berjalan secara perlahan namun pasti memasuki relung-relung alam bawah sadar sehingga tanpa disadari menumbuh-kembangkan benih-benih konsumerisme yang memang sudah menjadi “ciri” manusia modern yang materilaistis.
Ciri yang satu ini dipahami benar oleh para insan periklanan, sehingga segala kreatifitas diarahkan untuk menyuburkan konsumerisme tersebut. Teorinya, jika hal yang salah diulang-ulang seratus kali maka ia akan menjadi “seolah” benar. Segala sesuatu yang awalnya tabu jika dilihat secara terus-menerus maka akan menjadi patut. Tak kenal maka tak sayang, jika kenal akan tumbuh rasa sayang.
Pengalaman pribadi di keluarga, dalam membeli sesuatu yang terpikir di benak kami terkadang hanyalah karena melihat sesuatu itu menarik dan murah, bukan karena kami memang benar-benar membutuhkan. Kemarin, kami ingin sekali membeli sebuah HP karena kepincut murah, menarik, dan lengkapnya fasilitas yang cukup “menggiurkan”. Hampir saja kami membeli, namun karena berpikir ulang, melihat sisi prioritas dan fungsi, akhirnya kami mengurungkan niat itu.
Contoh konkret, ketika Nokia meluncurkan produknya C3, beberapa kota besar di Indonesia melahap 2000 biji Hp tipe tersebut dalam sehari. Apakah pembeli yang jumlahnya ribuan itu memang benar butuh ataukah hanya korban?
Lalu, Bagaimana tren gaya hidup masyarakat saat ini akibat gencarnya cecaran iklan?
Imbas dari suksesnya periklanan yang memanjakan konsumerisme khalayak, menurut penulis, di antaranya adalah pergeseran gaya hidup dan standar penilaian baik dan buruk.
Jelasnya, persepsi tentang semisal kelas sosial, kecantikan, dan kesuksesan diukur berdasarkan standar iklan. Seseorang dianggap berkelas jika telah menggunakan produk A. Perempuan dibilang cantik jika kulitnya putih, ramping dan rambutnya hitam kemilau. Begitu pula seseorang dianggap sukses jika punya rumah, mobil dan produk-produk terkini.
Lihat! semuanya berdimensi materi. Segala sesuatu diukur dengan materi yang kasat mata.
Kondisi seperti ini sungguh memprihatinkan dan membahayakan eksistensi manusia, terutama dalam hal keseimbangan. Manusia punya dimensi materi (jasad, badan) dan dimensi spiritual (ruh, jiwa). Memanjakan satu dimensi dan mengesampingkan dimensi yang lain akan berpengaruh pada ketimpangan, ketidakseimbangan dan berakibat fatal; manusia kehilangan satu sisi kemanusiannya.
Akankah kita lanjutkan kealpaan ini? Masing-masing kita tentu punya aksi untuk mencari solusi...
Pesan saya, hati-hati kalau “menikmati” iklan :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H