Mengkafirkan dan menuduh orang lain sesat menjadi fenomena yang cukup marak di dunia Islam saat ini. Â Di Indonesiapun ada. Berita-berita di media massa menunjukkan hal itu.
Di Mesir juga banyak. Inilah yang, di antaranya mendorong Kementerian Wakaf Mesir/Majelis Tinggi Urusan Keislaman untuk menyelenggarakan The 23rd Conference on The Menace of Charging Others of Issuing Religious Verdicts without Konowlwdge and its Impactson Both National Interests and International Relation yang berlangsung pada tanggal 25 - 26 Maret 2014 lalu. Gampangnya, ini adalah konferensi yang membahas mengenai fenomena mengkafirkan orang dan memberi fatwa tanpa kompetensi serta pengaruhnya terhadap kepentingan nasional dan hubungan internasional.
Silakan simak laporan saya, yang kebetulan ikut nimbrung dalam konferensi tersebut.
Konferensi ini dihadiri diikuti oleh 25 negara dari kawasan Timur Tengah, Afrika, Asia, Eropa, yaitu: Yunani, Yaman, Mauritania, Saudi Arabia, Malaysia, Kazakstan, Kirgistan, Palestina, Oman, Serbia, Sudan, Senegal, Singapura, Zambia, Romania, Rusia, Ukraina, Uganda, UAE, Eritrea, Yordania, Mesir, Indonesia, Azerbaijan, Algeria, dan Bahrain.
Pada konferensi tersebut, Indonesia mengutus delegasinya dipimpin oleh Wakil Sekjen MUI Pusat, Prof. Dr. Amany Lubis. Adapun anggotanya adalah KH. Zulfa Mustofa (Sekjen MUI-DKI Jakarta), Dr. Robi Nurhadi,SIP,M.Si(Sekretaris Bagian Libtang MUI-DKI Jakarta), Ir. Teddy Suratmaji, M.Sc (anggota Bagian LitbangMUI-DKI Jakarta), Prof. DR. Nabila Lubis.
Pada hari kedua, utusan Indonesia menjadi pembicara. Beberap hal yang disampaikan di depan forum adalah pengalaman moderatisme Islam di Indonesia dengan judul "Moderatisme Islam; Pengalaman Indonesia", yang menjelaskan bahwa praktek keberagamaan di Indonesia diwarnai dengan menerima perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia bhinneka tunggal ika. Memang di Indonesia ada sebagian kelompok yang gemar mengkafirkan orang lain, namun mereka hanya sebagian kecil dan tidak mencerminkan penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Selain itu, utusan Indonesia juga membagi pengalaman Indonesia yang menggunakan pendekatan kultural dan kesejahteraan sebagai solusi alternatif dalam menghadapi kelompok-kelompok yang ekstrim.
Dalam sambutan pada saat pembukaan, Grand Syeikh al-Azhar, Prof. DR. Ahmad Thayyib, menjelaskan mengenai akar perbedaan pendapat di dunia Islam dalam menyikapi masalah "takfir" (mengkafirkan orang). Dampak dari masalah tersebut sering kali menjurus pada peledakan dan pembunuhan. Sangat disayangkan bahwa perbuatan itu dilakukan atas nama Islam, bahkan diiringi dengan suara takbir dan gelora jihad.
Pokok permasalahan takfir, menurut Grand Syeikh, ada pada pemikiran dan konsep mengenai keimanan seseorang. Menurut para ahli sunnah wal jamaah, iman seseorang sudah sah apabila dalam ada pembenaran atas rukun iman, meskipun hanya dalam hati. Sedangkan menurut penganut paham khawarij dan pengikutnya, ukuran keimanan seseorang harus dibuktikan dengan perbuatan. Perbedaan dalam konsep keimanan inilah yang nantinya menimbulkan perbedaan dalam bersikap dan berperilaku. Sebagai contoh, seorang yang melakukan dosa besar (berzina, membunuh, dll) masih dianggap beriman asalkan dihatinya masih ada kepercayaan dan pembenaran terhadap rukun iman, sehingga tidak boleh dianggap keluar dari garis keimanan. Sementara itu, menurut paham khawarij, dan pengikutnya menganggap bahwa seorang tersebut dianggap keluar dari garis keimanan sehingga tidak lagi dianggap seorang mukmin. Disampaikan bahwa posisi al-Azhar adalah sejalan dengan pemikiran ahli sunnah wal jamaah, yang beraliran Islam moderat. Untuk itu, al-Azhar akan terus menjadi garda depan dalam mempromosikan pemikiran moderat, dan membentengi umat dari pemikiran-pemikiran ekstrim.
Sementara itu, Menteri Wakaf Mesir (Menteri Agama, kalau versi Indonesia), Prof. DR. Mokhtar Gomaa, Â menjelaskan bahwa adanya ektrimisme, kekerasan, dan terorisme atas nama agama, serta terlalu mudah mengkafirkan orang lain berimbas negatif kepada kehidupan berbangsa, dan pada saat yang sama juga memperburuk hubungan dengan bangsa-bangsa lainnya. Untuk itu, orang-orang yang tidak kompeten dalam agama diharapkan tidak dengan mudah mengeluarkan fatwa, karena fatwa tanpa kompetensi cenderung mengarah pada penyesatan dan penyelewengan agama.
Menteri Wakaf juga menekankan bahwa untuk membendung akibat-akibat negatif yang ditimbulkan dari hal-hal tersebut di atas, maka konferensi yang diadakan kali ini menjadi sangat penting dalam rangka mencari jalan keluar terbaik dan memberi kontribusi nyata untuk meminimalisir pemikiran keagamaan yang dengan mudah mengkafirkan orang lain dan dalam rangka meluruskan fenomena memberikan fatwa tanpa kompetensi yang memadai.
Rekomendasi dari konferensi dimaksud dalam Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dapat dilihat di http://www.awkafonline.com/portal/?p=7947.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H