Seorang Pemuda berbadan tegap Seorang pemuda berbadan tegap, potongan rambut cepak, namun senyum selalu terkembang di bibirnya, berusia dua puluh enam tahun kala itu. Pemuda ini memilih pulang ke desanya setelah selesai menuntut ilmu di sebuah kota ternama. Ia punya mimpi. Membangun desanya agar tak kalah dengan kota. Meski dipandang sebelah mata keluarga, diteror oleh warga, ia tetap bertahan. Mimpinya sudah bulat. Mengangkat derajat petani kelapa di desanya.
Merubah pola pikir memang susah. Petani kelapa tak mau berubah. Itulah tantangan yang ia hadapi ketika ingin desanya mulai berbenah. Agar hidup tak lagi susah. Terwujudkah ? Berikut ini hasil perbincangaagan saya dengan Akhmad Sobirin, pemuda yang memilih "bali ndesa mbangun ndesa."
Bagaimana awal mula keterlibatan Anda pada kaum penderes?Â
Ceritanya, setelah saya menamatkan kuliah di UGM, saya pulang ke kampung halaman, Desa Semedo, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas. Saya tidak tertarik untuk mencari kerja, tapi ingin berwirausaha. Harapan saya adalah agar bisa membuka lapangan kerja bagi orang banyak.Â
Maka saya awali dengan budidaya jamur tiram. Pada awal saya merintis usaha tersebut, saya mendapat cemoohan dari keluarga maupun tetangga. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau cuma budidaya jamur Mas. Lulusan SD saja bisa kalau cuma begini." Cemoohan tersebut saya anggap sebagai angin lalu.Â
Saya terus menekuni apa yang sudah saya rintis selama satu tahun. Hanya saja nasib berkata lain. Tak semulus yang saya bayangkan. Usaha jamur saya gagal. Sehingga, saya mendapat makin banyak omongon tak enak dari sanak kerabat. Mungkin karena  saya anak bungsu kali ya, ha.. ha... Tetangga juga melakukan hal yang sama.
Desa Semedo ini memiliki potensi alam yang baik. Di atas bukit kita bisa memandang jajaran pohon kelapa yang terhampar hijau. Ada 22.000 pohon kelapa yang melambai-lambai di desa ini.Â
Oleh karena itu saya lekat sekali dengan kehidupan para penderes. Meski orang tua saya seorang pedagang gula, tapi sebagian besar keluarga dari bapak dan ibu saya hampir semuanya adalah penderes nira kelapa. Saya lihat kehidupan para penderes ini belum dapat dikatakan hidup secara layak.Â
Penghasilan penderes di kala itu, tahun 2012, berkisar Rp30.000,00 per hari. Penghasilan sebesar itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Masalah kesehatan menjadi perhatian serius. Hal ini karena sebelum tahun 2017 seorang penderes tidak mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan.Â
Padahal aktivitas seorang penderes tidak jauh dari risiko kecelakaan maupun kematian. Bayangkan saja seorang penderes harus memanjat pohon kelapa setinggi 10 s.d. 20 meter tiap pagi dan sore. Bukan satu atau dua pohon, melainkan puluhan pohon kelapa. Belum lagi jika kondisi pohon licin setelah hujan.
Keprihatinan yang juga saya rasakan akan kondisi penderes adalah adanya jeratan hutang dari para tengkulak gula. Sehingga mau tidak mau para penderes harus menjual hasil gulanya kepada tengkulak yang telah memberinya hutang. Si tengkulak memenuhi dulu kebutuhan penderes. Dia butuh beras, tengkulak kasih.Â
Dia butuh uang untuk bayar sekolah, tengkulak kasih. Hal ini menjadikan harga jual gula ketika penderes menjual gula ke tengkulak, ditentukan oleh tengkulak gula secara sepihak. Selain itu, beberapa penderes juga terikat hutang dengan bank harian. Seperti kita ketahui, bank harian ini bunganya akan menjerat si penghutang. Hal-hal inilah yang menjadi lingkaran setan bagi para penderes.