foto : Pasir di pantai Nampu, Wonogiri (dokpri)
Hujan abu berulang kali jatuh di atap rumah. Ia membereskan rumahnya secepat suara yang berhamburan di depan halaman rumahnya.
"ayo cepat, kita segera mengungsi" kata ayahnya yang sudah panik
"iya pak, sebentar"
Seraya mengambil beberapa potong kain baju, ia melangkah keluar menuju jalan kampung. Ia berjalan ke penampungan pengungsi erupsi Gunung Meru Api. Ia memandang hujan pasir yang terus mengalir mengenai atap tenda pleton.
“merdu benar rasanya suara pasir itu berbisik” gumamnya dalam hati
Ia mengambil segenggam pasir dari langit di kedua tangannya. Ini sebuah parafrase kehidupan dalam bingkai pasir.
Pasir itu tentang kebenaran. Kebenaran yang menjadi pondasi kehidupan. Pasir menjadi pondasi atas batu dan bangunan. Dari lahir, manusia diciptakan menjadi sosok yang memegang erat kebenaran. Pada kahirnya dunia membuat simbol baru tentang kebenaran dan penegak kebenaran. Tapi kini bersisa sebutir pun tidak ada di telapak tangan. Kebenaran para penegaknya juga hilang sia, tak bersisa.
Hingga akhirnya, jika penegak kebenaran tak sanggup lagi menghakimi. Maka hanya waktu yang mampu mengadili. Zat ilahi yang paling mengerti tindakan makhluk, Ia sendiri yang akan menghakimi. Penghakiman dengan jalan-Nya sendiri.
Waktu adalah pembatas umur paling unik di dunia. Membelah dunia menjadi berbagai warna. Andai jarum dapat ku haling,tak akan terbuang detik akan kudulang. Dan akan kutuang dalam ruang tak bertulang. Orang bilang ruangan itu disebut nurani. Namun, kini ku lebih memilih tuk pulang ke tempat paling ilahi, paling sakral bagi kitab-kitab.
Aku sebenarnya sudah mati berulang kali, dan selalu terlahir kembali. Ku pulang pun, hal bias tak kunjung hilang.